Book: Catatan atas Kebijakan dan Program HIV & AIDS di Indonesia
Buku:
Catatan atas
Kebijakan dan Program HIV & AIDS di Indonesia
Pusat
Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) Fakultas Kedokteran – Universitas
Gadjah Mada
PKMK FK UGM.
2016. Catatan atas Kebijakan dan Program HIV & AIDS di Indonesia.
Important Quotation:
·
Integrasi masih
menjadi tantangan yang besar untuk bisa diwujudkan dalam penanggulangan HIV
& AIDS, karena adanya berbagai kepentingan yang berbeda baik di tingkat
pusat maupun daerah, yang tidak mudah untuk dinegosiasikan.
· Dalam hitungan Komisi Penanggulangan
AIDS Nasional (KPAN), sampai 2013 terdapat tidak kurang 245 peraturan mulai
dari tingkat nasional hingga daerah. Tetapi, sejauh mana produk kebijakan AIDS
yang sedemikian banyak itu berdampak pada efektivitas dalam penurunan angka
infeksi baru di Indonesia?
· Tidak efektifnya produk kebijakan tersebut dipengaruhi
oleh beberapa faktor. Pertama, perangkat hukum
lebih merupakan upaya pemenuhan aspek legalitas dan prosedural sebagai bukti
adanya itikad dari pemerintah dalam merespons epidemi AIDS, tetapi komitmen
secara praktis dalam pendanaan masih sangat kecil. Ini tidak terlepas
dari banyaknya intervensi global yang membawa bantuan dalam jumlah yang besar,
sehingga pemerintah memandang dukungan asing sudah mencukupi. Ketika dukungan asing tidak lagi ada, pemerintah tidak
siap.
· AIDS merupakan masalah yang tidak hanya menyangkut
epidemi, tetapi juga terkait dengan faktor sosial,
ekonomi, politik, dan budaya. Keaktifan para aktor dalam implementasi kebijakan
menjadi penentu utama, bahkan ditemukan bukti bahwa meski suatu daerah
belum memiliki kebijakan penanggulangan AIDS, tapi karena terdapat pelaku-pelaku
yang aktif dan punya perhatian terhadap masalah AIDS, intervensi program dapat
berjalan efisien. Dalam konteks budaya Indonesia, faktor ketokohan menjadi
aspek penentu keberhasilan program, sebagaimana dapat dilihat di Bali dan
Makassar.
· Integrasi kebijakan penanggulangan HIV & AIDS
secara struktural maupun fungsional terjadi jika pemerintah daerah memiliki
rasa kepemilikan (ownership) kuat atas kebijakan dan program.
·
Lebih dari 50 persen pendanaan masih bersumber dari luar negeri. Sudah begitu, belum ada dana dari anggaran daerah (APBD) untuk upaya
penanggulangan HIV & AIDS yang dilakukan oleh masyarakat sipil
· Di tingkat individu, perilaku sehat ini
bisa dimulai dari perubahan mindset (cara pikir) tentang perilaku sehat dan
perilaku mencari sehat. Sedangkan di tingkat struktural, atau organisasi,
dimulai dengan penciptaan sistem keluarga dan lembaga/organisasi yang sehat,
sebagaimana disarankan oleh Scott et al. (2003) bahwa mengelola budaya
organisasi adalah hal yang esensial dalam upaya reformasi sistem kesehatan.pp
265
^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^
Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) Fakultas Kedokteran – Universitas Gadjah Mada
PKMK FK UGM. 2016. Catatan atas Kebijakan dan Program HIV & AIDS di Indonesia.
Ide awal
penelitian Integrasi Kebijakan dan Program Penanggulangan HIV & AIDS ke
dalam Sistem Kesehatan yang dilaksanakan oleh Pusat Kebijakan dan Manajemen
Kesehatan (PKMK) Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada dengan dukungan
dari Department of Foreign Affairs and Trade (DFAT),
Pemerintah Australia, berangkat dari kenyataan bahwa program HIV & AIDS di
Indonesia merupakan bagian dari inisiatif kesehatan global untuk merespon
situasi epidemi di Indonesia. Oleh karenanya, permasalahan integrasi dengan
sistem kesehatan menjadi sebuah pertanyaan besar mengingat berbagai penelitian
sebelumnya menunjukkan bahwa model penanggulangan HIV & AIDS yang didorong
oleh inisiatif kesehatan global telah mengakibatkan berbagai konsekuensi
negatif pada sistem kesehatan, seperti terbangunnya sistem pelayanan kesehatan
yang paralel; diterapkannya model-model intervensi yang bersifat global; dan
terpisahnya layanan HIV & AIDS dari pelayanan kesehatan lainnya yang justru
memperbesar eksklusi sosial bagi kelompok marginal. Beranjak dari
‘keprihatinan’ tersebut, maka penelitian ini mengembangkan tiga agenda utama
yang dikaji dan direkomendasikan selama proses penelitian ini berlangsung.
Ketiga agenda tersebut adalah
(1) pentingnya
integrasi program HIV & AIDS ke dalam sistem kesehatan,
(2)
mengintegrasikan pendekatan struktural ke dalam intervensi penanggulangan HIV
& AIDS saat ini yang didominasi oleh pendekatan individual, yang pada
dasarnya diintroduksikan oleh inisiatif kesehatan global, dan
(3) mendorong
pelayanan kesehatan yang inklusif mengingat populasi utama dari penanggulangan
HIV & AIDS ini adalah kelompok yang terpinggirkan di dalam masyarakat.
Agenda pertama dari seri penelitian tersebut,
dimulai dengan melakukan penelitian untuk mengukur tingkat integrasi fungsi-fungsi
program penanggulangan HIV & AIDS dengan fungsi-fungsi sistem kesehatan.
Pengukuran tingkat integrasi ini menjadi penting mengingat bahwa inisiatif
global ini bersifat sementara dan pada akhirnya menjadi tanggung jawab sistem
kesehatan untuk meneruskan, memperluas dan menjamin keberlangsungan inisiatif
tersebut di masa depan. Pengukuran integrasi ini dilakukan berdasarkan pada
cakupannya (nasional dan daerah) dan jenis intervensinya (pencegahan dan
perawatan, pengobatan dan dukungan) dan telah dilakukan di 8 provinsi (Sumatera
Utara, DKI Jakarta, Jawa Timur, Bali, NTT, Sulawesi Selatan, Papua Barat dan
Papua). Secara umum, hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa integrasi
kebijakan dan program penanggulangan HIV & AIDS ke dalam sistem kesehatan
belum sepenuhnya terjadi. Gambaran tentang berlakunya sistem paralel dalam
penyediaan layanan, pembiayaan, penyediaan logistik dan pengelolaan informasi
strategis bisa dilihat dalam pelaksanaan penanggulangan HIV & AIDS di
berbagai wilayah dan jenis intervensinya. Integrasi
masih menjadi tantangan yang besar untuk bisa diwujudkan dalam penanggulangan
HIV & AIDS, karena adanya berbagai kepentingan yang berbeda baik di tingkat
pusat maupun daerah, yang tidak mudah untuk dinegosiasikan.
MENINGKATKAN EFEKTIVITAS
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN AIDS
Ignatius Hersumpana
Pandangan
bahwa AIDS merupakan persoalan kesehatan masyarakat dan belum menjadi tantangan
pembangunan dalam tata kelola pemerintahan di sebagian negara berkembang
seperti Indonesia berdampak pada lemahnya perhatian terhadap upaya
penanggulangan AIDS. Dengan demikian, komitmen pemerintah dalam penanggulangan
AIDS perlu lebih didorong agar menjadikan program penanggulangan AIDS sebagai
salah satu prioritas tantangan pembangunan. Menilik sejarah pengendalian HIV
& AIDS sejak kasus AIDS di Indonesia pertama kali ditemukan pada 1987 di
Bali, dari aspek struktural—khususnya pengembangan kebijakan hukum dan
peraturan—sudah cukup besar. Dalam hitungan Komisi
Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN), sampai 2013 terdapat tidak kurang 245
peraturan mulai dari tingkat nasional hingga daerah. Tetapi, sejauh mana produk
kebijakan AIDS yang sedemikian banyak itu berdampak pada efektivitas dalam
penurunan angka infeksi baru di Indonesia?
“Keaktifan
para aktor dalam implementasi kebijakan menjadi penentu utama intervensi
program dapat berjalan efisien”
Pada tataran
implementasi kebijakan, temuan awal penelitian PKMK FK UGM (2014) tentang
integrasi upaya penanggulangan HIV & AIDS ke dalam sistem kesehatan
nasional memperlihatkan banyaknya produk kebijakan tidak berkorelasi langsung
dengan efektivitas upaya penanggulangan AIDS. Tidak
efektifnya produk kebijakan tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor. Pertama,
perangkat hukum lebih merupakan upaya pemenuhan aspek legalitas dan prosedural
sebagai bukti adanya itikad dari pemerintah dalam merespons epidemi AIDS,
tetapi komitmen secara praktis dalam pendanaan masih sangat kecil. Ini tidak
terlepas dari banyaknya intervensi global yang membawa bantuan dalam jumlah
yang besar, sehingga pemerintah memandang dukungan asing sudah mencukupi. Ketika
dukungan asing tidak lagi ada, pemerintah tidak siap.
Kedua, implementasi kebijakan ini dipengaruhi juga oleh faktor kapasitas
(sumber daya) yang masih terbatas. Di
beberapa daerah, keberadaan peraturan dan kebijakan tidak dibarengi dengan
ketersediaan sumber daya yang kompeten, sehingga peraturan dan kebijakan itu
tidak memberikan nilai lebih dalam upaya merespons epidemi di tingkat lokal.
Keterbatasan ini berdampak langsung pada proses perencanaan, implementasi, dan
evaluasi intervensi program, di antaranya alokasi pendanaan yang terbatas dan ketidakpahaman
mekanisme perencanaan. Beberapa Satuan Kerja
Perangkat Daerah (SKPD) yang menjadi bagian dari Komisi Penanggulangan AIDS
Daerah (KPAD) tidak mendapatkan alokasi anggaran karena program HIV
dianggap bukan sebagai tugas pokok dan fungsinya. Ketiga,
faktor pelaku (aktor) menjadi salah satu penentu dalam implementasi
kebijakan AIDS.
AIDS merupakan masalah yang tidak hanya menyangkut epidemi, tetapi juga
terkait dengan faktor sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Keaktifan para
aktor dalam implementasi kebijakan menjadi penentu utama, bahkan ditemukan
bukti bahwa meski suatu daerah belum memiliki kebijakan penanggulangan AIDS,
tapi karena terdapat pelaku-pelaku yang aktif dan punya perhatian terhadap
masalah AIDS, intervensi program dapat berjalan efisien. Dalam konteks budaya
Indonesia, faktor ketokohan menjadi aspek penentu keberhasilan program,
sebagaimana dapat dilihat di Bali dan Makassar.
Menjawab
pertanyaan bagaimana meningkatkan nilai tambah dari keberadaan kebijakan AIDS,
terdapat beberapa faktor kunci yang perlu diperhatikan dalam proses
implementasi kebijakan. Salah satunya, penting untuk menggali faktor-faktor
yang menjadi pendukung dan penghalang (barrier) implementasi kebijakan.
Kejelian dalam menganalisis faktor-faktor internal dan eksternal akan berdampak
langsung pada efektivitas implementasi kebijakan, tidak saja dalam arti
efektivitas biaya, tetapi juga dampak yang lebih luas terkait dengan
pengurangan dan penurunan angka infeksi baru sebagai tujuan dari intervensi
program penanggulangan AIDS.
TANTANGAN DESENTRALISASI KEBIJAKAN
KESEHATAN KE DEPAN
Ignatius Hersumpana
Penanganan
HIV & AIDS bersama dengan penyakit-penyakit lain sudah seharusnya menjadi
prioritas bagi daerah. Apalagi, epidemi HIV & AIDS memiliki karakter khusus
yang dapat menimbulkan bencana karena termasuk dalam kategori penyakit menular
dan bisa menjadi wabah. Di samping faktor-faktor seperti keberadaan komunitas
pekerja seks komersial, pekerja daerah yang berpindah-pindah dari satu tempat
ke tempat yang lain, dan berkembangnya Masyarakat Ekonomi ASEAN, perhatian
terhadap pencegahan penyebaran HIV & AIDS, terutama dengan memberikan
alokasi anggaran yang proporsional dan layak, seharusnya menjadi bagian
integral dalam kebijakan setiap kepala daerah di Indonesia. (pp 41)
Memaknai Integrasi Kebijakan
Penanggulangan HIV & AIDS ke dalam Sistem Kesehatan: Ownership dan
Engagement
Ignatius Hersumpana
Integrasi
kebijakan penanggulangan HIV & AIDS secara struktural maupun fungsional
terjadi jika pemerintah daerah memiliki rasa kepemilikan (ownership) kuat atas
kebijakan dan program.
Sebagaimana
ditunjukkan hasil penelitian di Provinsi Sulawesi Selatan, Bali, dan DKI
Jakarta, komitmen pemangku kepentingan dan tokoh politik lokal dapat menjamin
penerapan upaya penanggulangan HIV & AIDS ke dalam sistem kesehatan.
Keberadaan regulasi seperti peraturan daerah dan surat keputusan
bupati/walikota tidak bermakna jika pemimpin lokal tidak memiliki pemahaman,
komitmen, dan rasa kepemilikan yang tinggi atas persoalan HIV & AIDS.
Selain itu, pengembangan engagement dari berbagai pemangku kepentingan menjadi
kunci dalam proses integrasi program. Keterkaitan secara moral terhadap upaya
penanggulangan HIV & AIDS dari berbagai pihak menjadi perekat terjadinya
proses integrasi di tingkat lokal. (pp 55)
Dudley, L.
dan P. Garner. 2011. “Strategies for Integrating Primary Health Services in
Low- and MiddleIncome Countries at the Point of Delivery.” Cochrane
Database of Systematic Reviews Issue 7. Art. No.: CD003318. DOI:
10.1002/14651858.CD003318.pub3.
"Di era
desentralisasi ini, sudah selayaknya pemerintah daerah mewujudkan kepemilikan
informasi kesehatan daerah termasuk HIV & AIDS" pp 85
"Peran
tenaga kesehatan (dokter, perawat, dan bidan) dalam mendeteksi dini HIV menjadi
semakin penting karena banyak ODHA yang membutuhkan layanan medis dan belum
diketahui status HIV-nya." Pp 98
Data Konsil
Kedokteran Indonesia tahun 2016 menyebutkan bahwa total dokter di Indonesia
berjumlah 169.287, dengan rincian 109.659 dokter, 27.060 dokter gigi, 29.763
dokter spesialis, dan 2.805 dokter gigi spesialis.12 Sementara itu, Pengurus
Pusat Ikatan Bidan Indonesia (PP IBI) mencatat, pada 2012 terdapat lebih dari
200.000-an lulusan kebidanan dan 101.000 telah terdaftar sebagai anggota PP
IBI. Kebutuhan bidan yang ideal ialah 1 bidan untuk 1.000 orang. Dengan
perkiraan populasi Indonesia 250 juta jiwa pada 2012, maka kebutuhan bidan
tahun itu sebesar 250 ribu. Dengan perbandingan tersebut, diperkirakan pada
2015 akan terjadi surplus bidan.13 Dengan jumlah tenaga dokter dan bidan
sedemikian besar, seharusnya target tes HIV tidak mengalami kendala, sekiranya
seluruh tenaga dokter dan bidan melaksanakan apa yang sudah direncanakan oleh pemerintah
dalam rangka menghambat laju HIV & AIDS di Indonesia. Sayangnya, sejak
diterbitkannya Buku Pedoman Penerapan Konseling dan Tes HIV atas Inisiasi
Petugas Kesehatan, evaluasi untuk mengetahui tingkatan partisipasi tenaga
kesehatan, khususnya dokter, dokter gigi, dokter spesialis, dokter gigi
spesialis, dan bidan dalam pelaksanaan PITC belum pernah dilakukan. Evaluasi
tersebut perlu dilaksanakan, karena konseling dan tes HIV merupakan langkah
dini untuk menghindarkan pasien dari stadium lanjut AIDS dan bahkan kematian. Pp
99
Satu permasalahan
mendasar yang menjadi temuan penelitian PKMK FK UGM (2015) tentang kebijakan
HIV & AIDS di Indonesia ialah respons daerah terhadap HIV & AIDS yang
bertumpu pada produk kebijakan dan kelembagaan (pembentukan Komisi
Penanggulangan AIDS Daerah [KPAD]), tetapi lemah dalam implementasinya.
Artinya, integrasi pada level struktural dan kelembagaan saja tidak cukup.
Dibutuhkan prasyarat lain yang lebih mendasar untuk mencapai ownership dan
engagement para pemangku kepentingan HIV & AIDS di tingkat lokal atas
kebijakan dan program. Tulisan ini akan mengeksplorasi kedua aspek tersebut
dalam memaknai integras (pp 53)
Sejauh Mana Kebijakan Penanggulangan
HIV & AIDS untuk PPIA?
Ignatius Hersumpana
117-118
Tingkat
penularan HIV dari ibu ke anak semakin mengkhawatirkan. Badan Kesehatan PBB
(WHO) memperkirakan, dari 430.000 bayi atau anak yang terinfeksi HIV pada 2008,
90 persen di antaranya terinfeksi melalui transmisi dari ibu ke anak (mother to
child transmission). Sekitar setengah dari total jumlah bayi yang terinfeksi
itu, jika tidak dilakukan perawatan, akan mati sebelum usia mencapai 2 tahun.
Jika tidak ada intervensi risiko, perkiraan penularan dari ibu ke anak berkisar
antara 20 hingga 45 persen. Sementara jika dilakukan intervensi khusus pada
populasi yang tidak menyusui, risiko penularan HIV dari ibu ke anak dapat
dikurangi hingga kurang dari 2 persen dan mencapai kurang dari 5 persen pada
populasi yang menyusui. Di Indonesia, virus HIV pertama kali ditemukan dua
puluh lima tahun lalu. Pada 2012, diperkirakan ada 253.785 orang terinfeksi
HIV, sepertiga di antaranya adalah perempuan, yakni 69.761 orang. Ancaman
serius ini perlu penanganan yang komprehensif dan integral dari pemerintah.
Pertanyaannya, sejauh mana kebijakan Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak
(PPIA) di Indonesia? Kebijakan seperti apa yang sudah ada untuk merespons
kondisi tersebut?
Mempertimbangkan
potensi ancaman penularan HIV & AIDS yang besar kepada kelompok produktif,
terutama kaum ibu, Kemenkes RI mengeluarkan setidaknya dua regulasi, berupa
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 51 Tahun 2013 tentang Pedoman Pencegahan
Penularan HIV & AIDS dari Ibu ke Anak dan Surat Edaran Nomor
GK/Menkes/001/I/2013 tentang Layanan Pencegahan Penularan Human
Immunodeficiency Virus (HIV) dari Ibu ke Anak (PPIA). Keduanya merupakan
penjabaran lebih lanjut dari Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 21 Tahun 2013
tentang Penanggulangan HIV & AIDS. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 51 Tahun
2013 merupakan acuan bagi tenaga kesehatan, pengelola program, kelompok
profesi, dan pemangku kepentingan terkait PPIA. Penularan HIV dari ibu ke anak
dapat terjadi pada masa kehamilan, saat persalinan, dan saat menyusui,
sementara intervensinya dilakukan melalui empat kegiatan, yakni pencegahan
penularan HIV pada perempuan usia produktif; pencegahan kehamilan yang tidak
direncanakan pada ibu HIV positif; pencegahan penularan HIV dari ibu hamil HIV
positif ke bayi yang dikandung; dan pemberian dukungan psikologis, sosial, dan
perawatan kepada ibu HIV positif beserta anak dan keluarganya. Sementara Surat
Edaran GK/Menkes/001/I/2013 menghimbau kepada seluruh kepala Dinas Kesehatan
kabupaten/kota dan direktur rumah sakit di Indonesia untuk melakukan upaya deteksi
dini dan PPIA secara komprehensif dan berkesinambungan. Layanan PPIA
diintegrasikan dengan layanan Kesehatan Ibu dan Anak (KIA), Keluarga Berencana
(KB), dan Konseling Remaja di setiap jenjang layanan kesehatan dengan ekspansi
secara bertahap dan melibatkan peran swasta, lembaga swadaya masyarakat, dan
komunitas. PPIA dalam KIA merupakan bagian dari Program Nasional Pengendalian
HIV & AIDS dan Infeksi Menular Seksual (IMS). Setiap perempuan yang datang
ke layanan KIA-KB dan Konseling Remaja harus mendapatkan informasi tentang
PPIA. Di daerah di mana epidemi meluas dan terkonsentrasi, tenaga kesehatan di
fasilitas layanan kesehatan wajib menawarkan tes HIV kepada ibu hamil secara
inklusif pada pemeriksaan laboratorium rutin lainnya saat pemeriksaan antenatal
dan menjelang persalinan. Sedangkan di daerah epidemi rendah, penawaran tes HIV
lebih diprioritaskan kepada ibu hamil dengan IMS dan tuberkulosis. Sementara
pada daerah yang belum memiliki tenaga layanan kesehatan yang mampu atau
berwewenang memberikan layanan PPIA, upaya yang dapat dilakukan ialah
memberikan rujukan ibu hamil ke fasilitas layanan HIV yang memadai atau
pelimpahan wewenang kepada tenaga kesehatan yang terlatih (task shifting)
berdasarkan keputusan Dinas Kesehatan. Setiap ibu hamil yang positif HIV wajib
diberikan obat antiretroviral (ARV) dan pelayanan perawatan, dukungan, dan
pengobatan lebih lanjut (PDP). Kementerian Kesehatan RI bertugas untuk
merencanakan ketersediaan logistik, baik obat ARV maupun pemeriksaan tes HIV.
Mencermati peraturan dan surat edaran Menteri Kesehatan tentang PPIA ini
semestinya tenaga kesehatan kita bergerak proaktif untuk memberikan layanan
PPIA yang terintegrasi dalam sistem layanan kesehatan nasional, terutama KIA-KB
dan Konseling Remaja, secara inklusif, komprehensif, dan berkelanjutan. Kedua
regulasi ini perlu didorong dan diadvokasi lebih lanjut hingga ke tingkat
operasional paling bawah untuk memastikan bahwa penularan HIV dari ibu ke anak
dapat dikurangi sampai ke tingkat yang paling minim. PPIA menentukan kesehatan
dan kekuatan generasi mendatang sebagai pewaris masa depan. []
Ignatius
Hersumpana
Refleksi Upaya Penanggulangan HIV & AIDS dalam
Peringatan HAS 2015 Muhammad Suharni
Selain itu,
sumber pendanaan yang yang ditargetkan 70 persen dari sumber domestik pada
tahun 2014 belum tercapai. Lebih dari 50 persen
pendanaan masih bersumber dari luar negeri. Sudah begitu, belum ada dana dari anggaran daerah (APBD) untuk upaya
penanggulangan HIV & AIDS yang dilakukan oleh masyarakat sipil.
Padahal, berbagai perda penanggulangan HIV & AIDS menyebutkan tentang
perlunya partisipasi masyarakat. Kenyataannya, dana penanggulangan HIV &
AIDS untuk masyarakat sipil masih berasal dari donor internasional yang sangat
terbatas. Alokasi dana untuk masyarakat sipil hanya
1 persen dari total dana AIDS dunia (UNAIDS 2014). Rencana memperluas
program penanggulangan HIV & AIDS yang telah dimulai tidak akan berhasil
tanpa kelanjutan dukungan luar negeri dan tanpa meningkatkan pendanaan dari
sumber domestik, termasuk pendanaan pemerintah pusat dan daerah, serta meningkatkan pengobatan yang dicakup Jaminan Kesehatan
Nasional (JKN) melalui Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). (p
263)
Selanjutnya,
inovasi, adopsi, dan penyesuaian strategi menjadi penting agar dalam
pelaksanaannya sebuah strategi dapat mencapai target. Program
intervensi HIV & AIDS selama ini masih cenderung seragam dalam arti
perencanaannya dibuat dari pusat atau penyandang dana sehingga sering kali
daerah hanya menjalankan program saja dan dalam pelaksanaannya sering mendapat
hambatan bahkan resistensi. Oleh karena itu, pengalaman intervensi
selama ini dapat digunakan sebagai dasar untuk melakukan inovasi melalui
berbagai perubahan dan penyesuaian, seperti penentuan target wilayah,
penyediaan dan peningkatan akses layanan, pelibatan komunitas agar terpenuhinya
rasa kepemilikan atas program, serta memperhatikan isu stigma, diskriminasi,
dan HAM. (264)
Semua
Bertindak untuk Berperilaku Sehat Pengendalian HIV & AIDS perlu melibatkan
berbagai pihak, baik lintas program, lintas sektor, juga sangat penting
keterlibatan keluarga, komunitas, dan seluruh masyarakat. Pelibatan mereka
dalam penanggulangan HIV & AIDS harus pula disertai dengan tindakan nyata
untuk berperilaku sehat. Perilaku sehat tidak cukup hanya perilaku pribadi,
tetapi perlu dibangun perilaku sehat dalam arti luas yang meliputi relasi
struktural, kelembagaan, dan lingkungan. Di tingkat
individu, perilaku sehat ini bisa dimulai dari perubahan mindset (cara pikir)
tentang perilaku sehat dan perilaku mencari sehat. Sedangkan di tingkat
struktural, atau organisasi, dimulai dengan penciptaan sistem keluarga dan
lembaga/organisasi yang sehat, sebagaimana disarankan oleh Scott et al. (2003)
bahwa mengelola budaya organisasi adalah hal yang esensial dalam upaya
reformasi sistem kesehatan. Program yang menyangkut perilaku hidup sehat
populasi kunci dan ODHA, juga pengembangan lembaga pencegahan AIDS yang
berbudaya sehat perlu menjadi bagian dari program penanggulangan HIV &
AIDS. Tujuannya, mempercepat upaya peningkatan produktivitas dan derajat hidup
populasi kunci dan ODHA. Uraian ringkas di atas memberikan refleksi tentang
pentingnya peran penentu kebijakan yang berkekuasaan tinggi untuk didorong agar
kepentingannya terhadap upaya penanggulangan HIV & AIDS juga semakin
tinggi, juga perlunya tindakan nyata untuk berperilaku sehat. Semoga perilaku
sehat yang menjadi tema HAS tahun ini tidak sebatas slogan. Selamat Hari AIDS
2015. (265)
Scott, T., R. Mannion, H. Davies, dan N. Marshall. 2003. “Implementing
Culture Change in Health Care: Theory and Practice.” International Journal for
Quality in Health Care 15(2): 111–118.
Comments
Post a Comment