BOOK: Strategi dan Rencana Aksi Nasional 2015-2019 PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA
Strategi dan Rencana Aksi Nasional 2015-2019
PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA
Komisi Penanggulangan HIV dan AIDS Nasional | 2015
KPAN, 2015, Strategi dan Rencana Aksi Nasional
2015-2019: Penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia, retrieved from http://siha.depkes.go.id/portal/files_upload/SRAN_2015_2019_FINAL.pdf
Main quotation
Dalam pengembangan kebijakan nasional, prinsip-prinsip
yang dipegang adalah sebagai berikut:
(1) Memperhatikan nilai-nilai agama,
budaya serta norma sosial dan penghargaan terhadap manusia.
(2) Merespon masalah sosial dan
pembangunan, secara terstruktur, melibatkan pemangku kepentingan termasuk
pemerintah dan masyarakat sipil.
(3) Kemitraan antara masyarakat sipil,
ODHA, pemerintah dan mitra pembangunan.
(4) Dukungan sosial dan ekonomi
berfungsi memberdayakan ODHA dan mereka yang terdampak untuk mempertahankan
kualitas hidup.
(5) Exit strategy dari ketergantungan
sumber dana luar negeri. Pp 24-25
Visi Mengakhiri epidemi HIV di Indonesia
sebagai ancaman terhadap kesehatan masyarakat pada tahun 2030; dan tercapainya
akses pencegahan, pengobatan dan mitigasi dampak secara merata bagi semua orang
yang membutuhkan, tanpa kecuali.
Tujuan umum SRAN penanggulangan HIV dan
AIDS tahun 2015-2019 ditujukan untuk percepatan pencapaian “3 Zero” (Zero
infeksi baru, Zero kematian terkait AIDS dan Zero stigma dan diskriminasi)
dengan cara mencegah penularan HIV; meningkatkan dengan segera akses pengobatan
HIV, meningkatkan retensi pengobatan, meningkatkan kualitas hidup ODHA;
mitigasi dampak sosial ekonomi epidemi HIV pada individu, keluarga dan
masyarakat untuk menjaga produktivitas dan sumber daya manusia Indonesia.
Target Tujuan 3: Eliminasi Infeksi HIV
Vertikal
· -Mengeliminasi infeksi HIV pada bayi
yang terlahir dari ibu HIV positif
· -Meningkatkan akses informasi dan
layanan KSR pada perempuan usia reproduksi
· -Agar semua perempuan hamil melakukan
test HIV
· -Semua perempuan hamil dengan HIV
positif dan anak mereka di kabupaten/ kota prioritas mendapat ARV profilaksis,
dan ibu mereka menerima ART seumur hidup
· -Pelibatan laki-laki dalam program
pencegahan infeksi HIV vertical pp 29
· Pada tahun 2014 sebanyak 268.308 ibu hamil
berusia di atas 15 tahun menerima konseling dan tes HIV serta memperoleh hasil
tes mereka dalam 12 bulan terakhir. Angka ini lebih dari dua kali lipat cakupan
tahun 2013 yaitu sebesar 100.296. Namun dari wanita yang dinyatakan positif,
baru 78,8% (1624/2016) yang menerima ART untuk mengurangi risiko penularan HIV
dari ibu ke anak, meningkat dari 51,86% (1544/3135) pada tahun 2013.
· Pada tahun 2013, lebih dari 25% dari bayi
yang lahir dari ibu HIV positif menerima tesvirologi HIV dalam waktu 2 bulan
kelahiran (angka ini tidak dilaporkan sebelumnya).
· Sampai Oktober tahun 2014, terdapat 915
layanan (163 Rumah sakit, 743 Puskesmas dan 9 Klinik di 33 Provinsi) melaporkan
telah melakukan tes HIV pada ibu hamil (data P2PL tahun 2014).
LONG VERSION
Pp 24-25
Visi, Tujuan dan Strategi
3.1. Prinsip Kebijakan
Penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia bertujuan
untuk memastikan tercapainya akses universal terhadap layanan pencegahan,
pengobatan dan mitigasi dampak HIV dan AIDS; berfokus pada populasi kunci
(termasuk remaja populasi kunci dan pekerja migran) di daerah geografis yang
paling berisiko; memperkuat dan mempertahankan layanan terintegrasi yang
efektif secara biaya dan berkualitas tinggi; lingkungan kondusif yang bebas
stigma dan diskriminasi, sensitif jender dan berorientasi pada Hak Asasi
Manusia; serta menerapkan prinsip tata kelola yang baik, transparansi dan
akuntabilitas. Dalam pengembangan kebijakan nasional, prinsip-prinsip yang
dipegang adalah sebagai berikut:
(1) Memperhatikan nilai-nilai agama,
budaya serta norma sosial dan penghargaan terhadap manusia.
(2) Merespon masalah sosial dan
pembangunan, secara terstruktur, melibatkan pemangku kepentingan termasuk
pemerintah dan masyarakat sipil.
(3) Kemitraan antara masyarakat sipil,
ODHA, pemerintah dan mitra pembangunan.
(4) Dukungan sosial dan ekonomi
berfungsi memberdayakan ODHA dan mereka yang terdampak untuk mempertahankan
kualitas hidup.
(5) Exit strategy dari ketergantungan
sumber dana luar negeri.
3.2. Visi, Tujuan Umum dan Tujuan
Khusus
Visi Mengakhiri epidemi HIV di Indonesia
sebagai ancaman terhadap kesehatan masyarakat pada tahun 2030; dan tercapainya
akses pencegahan, pengobatan dan mitigasi dampak secara merata bagi semua orang
yang membutuhkan, tanpa kecuali.
Tujuan umum SRAN penanggulangan HIV dan
AIDS tahun 2015-2019 ditujukan untuk percepatan pencapaian “3 Zero” (Zero
infeksi baru, Zero kematian terkait AIDS dan Zero stigma dan diskriminasi)
dengan cara mencegah penularan HIV; meningkatkan dengan segera akses pengobatan
HIV, meningkatkan retensi pengobatan, meningkatkan kualitas hidup ODHA;
mitigasi dampak sosial ekonomi epidemi HIV pada individu, keluarga dan
masyarakat untuk menjaga produktivitas dan sumber daya manusia Indonesia.
Tujuan khusus
1. Menyediakan pencegahan kombinasi HIV yang efektif,
termasuk pengobatan sebagai pencegahan, bagi populasi kunci dan pasangannya;
2. Menyediakan layanan perawatan, dukungan dan
pengobatan yang berkualitas, mudah diakses, harga terjangkau dan ramah bagi
ODHA;
3. Memperluas pengobatan ARV kepada
semua ibu hamil di kabupaten/ kota prioritas untuk menghilangkan penularan
vertikal dari orang tua ke bayinya, dan memberikan akses ke pengobatan ARV
kepada semua anak yang terinfeksi HIV;
4. Meningkatkan akses untuk mitigasi dampak epidemi
HIV, termasuk dukungan ekonomi dan sosial untuk ODHA, anak-anak dan keluarga
terdampak yang hidup dalam kesulitan;
5. Menciptakan lingkungan kondusif yang mempromosikan
penanggulangan HIV dan AIDS yang efektif dan pemenuhan Hak Asasi Manusia di
semua tingkatan, memberdayakan masyarakat sipil untuk memiliki peran berarti
dan mengurangi stigma dan diskriminasi pada populasi kunci dan ODHA serta
mereka yang terdampak HIV dan AIDS. Hal ini termasuk mengembangkan kebijakan,
koordinasi, manajemen, monitoring dan evaluasi epidemi dan penanggulangannya
serta penelitian implementasi dan operasional. 6. Menempatkan penanggulangan
HIV dan AIDS nasional dalam mekanisme program yang berkelanjutan untuk mencapai
tujuan jangka menengah dan jangka panjang.
Pp 25
Dalam rangka mencapai visi dan tujuan di atas, ada4
(empat) skenario penanggulangan AIDS. Asumsi masing-masing skenario didasarkan
pada cakupan program dan efektifitasnya.
1. Skenario 1: Skenario baseline dimana diasumsikan
tidak ada peningkatan intervensi pada tahun 2013-2030.
2. Skenario2: “LKB Kinerja Medium” diasumsikan implementasi
program LKB dan PMTS di 141 kabupaten/ kota dengan cakupan pencegahan pada
populasi kunci sebesar 70% dan 45% cakupan pengobatan pada tahun 2020 (dengan
75% efektifitas pengobatan).
3. Skenario 3: “LKB Kinerja Tinggi di 47 kabupaten/
kota SUFA, dan Kinerja Medium di 94 Kota” sampai dengan tahun 2016; dan 75
kabupaten/ kota SUFA dengan Kinerja Tinggi dan 66 kabupaten/ kota Kinerja
Sedang mulai tahun 2017. 4. Skenario 4: “LKB Kinerja Tinggi”, dimana
diasumsikan implementasi program LKB dan PMTS serta SUFA dan lainnya
diintensifkan di 141 kabupaten/ kota dengan cakupan pencegahan pada populasi
kunci sebesar 80% dan 60% cakupan pengobatan pada tahun 2020 (dengan 75%
efektifitas pengobatan).
Adapun pelaksanaan SUFA ini dilakukan secara bertahap,
mulai dari 13 kabupaten/ kota, saat ini sudah bergerak menjadi 47 kabupaten/
kota hingga tahun 2016; dan pada awal tahun 2017, total 75 kabupaten/ kota
harus sudah melaksanakan SUFA dibawah payung LKB secara berkualitas. Pilihan
strategis ini, mencakup minimal 70% penjangkauan terhadap populasi kunci,
dimana pada pengguna NAPZA suntik dapat mencapai 80%. Sedangkan jumlah infeksi
baru turun 38% pada tahun 2019, jika dibandingkan jumlah infeksi baru pada
tahun 2014. Gambar 3.2. Jumlah ODHA Dewasa, 2015-2030 Skenario baseline: 778
ribu th 2019 dan 1.081 ribu th 2030 Skenario pilihan: 712 ribu th 2019 (jumlah
ODHA akan meningkat dahulu karena efektifitas ARV, dari baseline 2014 menjadi
naik 12%) dan 538 ribu th 2030 (turun 17%) Jumlah ODHA lebih sedikit: 65 ribu
th 2019 (turun 8%) dan 543 ribu th 2030 (turun 50%)
Pp 29
3.3. Target dan Hasil Yang Diharapkan
Target dan hasil yang harus dicapai di akhir
pelaksanaan SRAN 2015-2019 dibagi dalam 6 tujuan:
Target Tujuan 1: Perluasan dan Peningkatan Pencegahan
Kombinasi HIV
· Program pencegahan menjangkau sedikitnya 70% populasi
kunci. n Sedikitnya 40% ODHA mengetahui status HIV
· Mengurangi jumlah infeksi baru hingga 50% dari
proyeksi tahun 2014 bila tidak ada intervensi
· Perubahan perilaku melalui penggunaan kondom konsisten
pada 80% transmisi seks berisiko n 86%
· Penasun menggunakan alat suntik steril secara
konsisten n Penurunan prevalensi IMS hingga 25% dari 2014
· Pendekatan khusus untuk remaja populasi kunci dan
populasi umum
Target Tujuan 2: Perluasan dan Peningkatan Mutu
Layanan Perawatan, Dukungan dan Pengobatan
· Meningkatkan cakupan pengobatan ARV hingga 70%
· Meningkatkan cakupan pengobatan ARV untuk pasien TB
· Mengurangi kematian akibat AIDS hingga 50% n
Meningkatkan kualitas layanan ARV (jumlah dan ketersediaan ARV untuk anak)
Adherance ARV
· Layanan HIV, kesehatan seksual dan reproduksi,
dukungan sebaya, kekerasan dan TB terintegrasi dalam struktur layanan
Target Tujuan 3: Eliminasi Infeksi HIV
Vertikal
· -Mengeliminasi infeksi HIV pada bayi
yang terlahir dari ibu HIV positif
· -Meningkatkan akses informasi dan
layanan KSR pada perempuan usia reproduksi
· -Agar semua perempuan hamil melakukan
test HIV
· -Semua perempuan hamil dengan HIV
positif dan anak mereka di kabupaten/ kota prioritas mendapat ARV profilaksis,
dan ibu mereka menerima ART seumur hidup
· -Pelibatan laki-laki dalam program
pencegahan infeksi HIV vertical
Target Tujuan 4: Perluasan Cakupan Mitigasi Dampak
Orang terinfeksi atau terdampak HIV, termasuk anak,
janda, WBP yang membutuhkan, memiliki akses untuk mitigasi dampak termasuk
kesehatan, pendidikan, psikososial dan pemberdayaan ekonomi.
Target Tujuan 5: Penciptaan Lingkungan yang Mendukung
· Meningkatnya komitmen (implementasi kebijakan dan
anggaran) pemerintah di tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota pada
upaya penanggulangan HIV yang mandiri dan berkelanjutan
· Memastikan adanya kebijakan yang mendukung
penanggulangan HIV/AIDS yang sesuai dengan prinsip-prinsip HAM dan
memperhatikan kebutuhan lakilaki, perempuan, waria (responsif gender);
memastikan mereka memiliki akses, partisipasi, kontrol dan manfaat dari
kebijakan yang dibuat. (Masuk DO)
· Pemerintah bersama dengan masyarakat sipil berperan secara
signifikan dalam upaya penanggulangan HIV dan AIDS, mengubah aturan perundangan
yang bersifat menghukum, kontraproduktif, menghambat akses seperti batas usia,
serta permasalahan Hak Asasi Manusia dan ketidaksetaraan jender, stigma dan
diskriminasi pada populasi kunci, ODHA dan anak yang terinfeksi HIV, orang
terdampak HIV dan AIDS dan kelompok rentan lainnya (warga binaan laki-laki,
perempuan, waria, buruh migran laki-laki, perempuan, waria, anak jalanan,
pasangan dari populasi kunci, orang dengan disabilitas, kaum etnis minoritas,
masyarakat miskin dan masyarakat yang tinggal di daerah pedesaan).
· Memastikan adanya sistem penanganan korban kekerasan
pada populasi kunci (ODHA, perempuan dengan HIV, pekerja seks perempuan dan
waria, GWL, perempuan penasun), anak dengan HIV dan anak dari ODHA, serta
korban kekerasan lainnya yang rentan terhadap infeksi HIV melalui integrasi
layanan kesehatan dan bantuan hukum.
· Memastikan pelibatan aktif masyarakat sipil, termasuk
orang yang terinfeksi dan terdampak HIV, orang muda termasuk orang muda
populasi kunci dan organisasi berbasis komunitas, serta kelompok perempuan dan
waria yang lebih strategis dalam perencanaan, pelaksanaan, pelaporan,
monitoring dan evaluasi program.
· Memperkuat program multi-sektor di kementerian/lembaga,
termasuk memperluas program pencegahan HIV melalui pendidikan di sekolah dan
luar sekolah serta di tempat kerja.
· Memastikan program pencegahan HIV melalui pendidikan
formal dan informal serta pembangunan kesadaran menggunakan pendekatan yang mudah
dijangkau oleh semua lapisan masyarakat terutama kelompok populasi kunci,
kelompok rentan, kelompok perempuan dan waria, termasuk melalui media sosial
dan ICT secara efektif untuk mempromosikan penanggulangan HIV.
· Meningkatnya kapasitas, kualitas dan efektivitas
sumber daya manusia terkait HIV, memasukkan HIV dan AIDS dalam kurikulum di
semua jenjang pendidikan dan pengembangan pusat-pusat pelatihan untuk
pembelajaran horizontal.
· Memastikan adanya peningkatan kapasitas dan kesadaran
pemerintah, penyedia layanan, media dan stakeholder lainnya tentang
prinsip-prinsip HAM dan kesetaraan gender di dalam pencegahan dan penanganan
HIV dan AIDS.
· Memperbaiki kualitas, penggunaan dan mekanisme berbagi
data yang terpilah berdasarkan umur, jenis kelamin dan gender.
· Adanya sistem surveilans yang berfungsi dan data yang
terharmonisasi dari berbagai sumber. Monitoring dan evaluasi program difokuskan
pada (1) penanganan masalah dalam proses dan kualitas layanan, (2) memantau
riam (cascade) layanan HIV, (3) kesenjangan berdasarkan kelompok umur, jenis
kelamin dan gender.
· Penanggulangan HIV dan AIDS di tingkat kabupaten/kota
diperkuat melalui pengembangan kapasitas, penguatan koordinasi, integrasi
layanan kesehatan dan masyarakat, dan desentralisasi layanan serta mobilisasi
sumber daya yang tersedia di daerah.
Target Tujuan 6: Peningkatan Keberlanjutan Program
· Mengidentifikasi dan menggunakan upaya-upaya program
yang efektif secara biaya, termasuk rasionalisasi layanan, pengalihan tugas dan
efisiensi biaya diagnosis, obat-obatan dan komoditas lainnya.
· Meningkatkan proporsi pengeluaran pemerintah pusat,
daerah dan swasta untuk upaya pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS.
· Meningkatkan peran sektor swasta dalam hal pendanaan
dan layanan kesehatan dalam kerangka PPM (public private mix).
Pp 39-40
11. Menguatkan Penelitian, Kualitas Data serta
Akselerasi Penggunaan Inovasi dan Teknologi Baru Inovasi dan teknologi baru
dapat meningkatkan efektivitas serta efisiensi intervensi untuk menanggulangi
HIV, selama periode SRAN 2015-2019. Perlu ada mekanisme untuk melakukan
eksplorasi inovasi dan teknologi baru yang dapat diuji serta diimplementasikan
di Indonesia; memperoleh perijinan sesuai hukum yang berlaku; dan mengembangkan
rencana aksi untuk pelaksanaannya. Beberapa prioritas
inovasi yang perlu dipertimbangkan antara lain adalah tes HIV berbasis
komunitas, pemanfaatan Information and Communication Technology (ICT),
penggunaan media sosial, SMS dan internet untuk kegiatan penjangkauan komunitas
khususnya bagi populasi tersembunyi dan remaja; serta pencanangan intervensi
PreP bagi LSL (Lelaki Seks dengan Lelaki). Terkait dengan informasi
strategis, SRAN 2015-2019 perlu terus memperkuat sistem surveilans, termasuk
peningkatan kualitas data dan penelitian baru terkait HIV, khususnya agar lebih
diperhatikan pada tingkat provinsi dan kabupaten/ kota. Prioritas utama adalah
penguatan sistem data rutin seperti SIHA maupun surveilans penyakit dan
peningkatan kualitas data, serta adanya perhatian khusus untuk memenuhi
kebutuhan data di tingkat provinsi dan kabupaten/ kota, meningkatkan kapasitas
daerah untuk melakukan integrasi, interpretasi, serta menggunakan data secara
efektif untuk perencanaan maupun pemantauan. Penguatan sistem data disertai
dengan agregasi jender, usia, dan faktor risiko. Untuk memenuhi kebutuhan
informasi bagi keberhasilan SRAN 2015-2019 dibutuhkan penelitian dengan area
yang cukup luas, termasuk penelitian biomedis/ klinis, epidemiologi, sosial,
budaya, perilaku dan penelitian operasional/ implementasi. Penelitian biomedis/
klinis fokus pada masalah gambaran klinik, perjalanan penyakit, Penelitian
epidemiologi fokus pada besaran, penyebaran dan latar belakang biologi,
virology, lingkungan, sedangkan penelitian sosial/ budaya fokus pada fenomena
sosial dalam masyarakat, termasuk perilaku dan struktur sosial masyarakat.
Agenda penelitian 2015-2019 memberikan prioritas pada penelitian operasional/
implementasi yang menunjang kebijakan penanggulangan HIV dan AIDS yang
mempunyai tujuan: Menghentikan penularan HIV; Memperbaiki kualitas hidup ODHA;
Mengurangi dampak HIV dan AIDS pada individu, keluarga dan masyarakat; dan
Menciptakan lingkungan kondusif program yang bebas stigma dan diskriminasi.
Perlu diidentifikasi perguruan tinggi, komunitas, dan institusi penelitian
untuk mendukung penelitian implementasi dan penelitian evaluasi, dengan fokus
75 kabupaten/ kota prioritas tinggi. Evaluasi proses dan penelitian operasional
dilakukan untuk meningkatkan kualitas pelaksanaan penanggulangan AIDS termasuk
LKB/ PMTS/ SUFA dan keterlibatan komunitas. Perlu diperhatikan pemantauan
efektivitas pengobatan (melalui CD4 dan viral load), sesuai dengan pedoman.
Pp 58
4.1.8. Pencegahan oleh orang HIV yang telah mengetahui
statusnya
Penekanan pencegahan masih terbatas pada pencegahan
penularan di kalangan orang yang belum mengetahui status HIV-nya. Mencegah
penularan HIV pada seorang yang sudah terinfeksi HIV mempunyai potensi mencegah
penularan yang berlipat ganda dibanding mencegah penularan pada satu orang yang
tidak terinfeksi HIV karena pencegahannya hanya kepada satu orang.
Pencegahan bagi orang dengan HIV yang telah mengetahui
status HIV-nya, mencegah mutasi HIV dengan menghindari re-infeksi HIV dan
menjadikannya tetap sehat.
Upaya yang perlu dilakukan sebagai daya ungkit pencegahan,
dengan melibatkan orang dengan HIV yang telah mengetahui status HIV-nya adalah
sebagai berikut:
· ODHA yang telah mengetahui status HIV-nya harus
dirujuk ke layanan pencegahan terintegrasi dengan layanan konseling berkelanjutan
melalui Konseling dan Tes HIV (KTH) serta layanan Kesehatan Seksual dan
Reproduksi (KSR).
· ODHA yang telah mengetahui status HIV-nya dijangkau
untuk mendapatkan edukasi pilihan pencegahan dan kegiatan pencegahan positif
melalui kelompokkelompok ODHA dengan peran dukungan sebaya.
· Tersedianya informasi tentang seks aman, infeksi
ulang, pilihan kesehatan reproduksi, dampak pengobatan ARV, menyuntik yang aman
tersedia pada setiap layanan HIV termasuk rumah sakit, PKM, klinik KB, LSM dan
kelompok dukungan ODHA.
· Pemberdayaan ODHA sebagai fasilitator sebaya dalam
menginisiasi prinsip pencegahan positif sebagai bagian dari intervensi
perubahan perilaku.
Pp 59
4.2. Mengurangi Infeksi HIV Vertikal
4.2.1. Pencegahan Penularan HIV dari Ibu
ke Anak
· Menggunakan Pedoman Pelaksanaan Pencegahan
Penularan HIV dan sifilis dari Ibu Ke Anak Bagi Petugas Kesehatan (2014),
Pedoman Manajemen Program Pencegahan Penularan HIV dan sifilis dari Ibu ke Anak
(2015), Peraturan Menteri Kesehatan nomor 21 tahun 2013 tentang Penanggulangan
HIV dan AIDS serta Surat Edaran nomor GK/Menkes/001/I/2013 tentang Layanan
Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak sebagai acuan utama dalam pencegahan
penularan HIV vertikal dan memastikan implementasinya sesuai standar di daerah.
· Peraturan Menteri Kesehatan nomor 21
tahun 2013 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS menyatakan bahwa Tes dan
Konseling HIV dianjurkan sebagai bagian dari pemeriksaan laboratorium rutin
saat pemeriksaan asuhan antenatal atau menjelang persalinan pada semua ibu
hamil yang tinggal di daerah dengan epidemi meluas dan terkonsentrasi; dan ibu
hamil dengan keluhan keluhan IMS dan tuberkulosis di daerah epidemi rendah.
· Surat Edaran nomor GK/Menkes/001/I/2013
tentang Layanan Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak menyatakan
Pelaksanaan kegiatan PPIA diintegrasikan pada layanan Kesehatan Ibu dan Anak
(KIA), Keluarga Berencana (KB) dan Konseling Remaja; setiap perempuan yang
datang ke layanan KIA-KB dan remaja yang mendapat layanan kesehatan diberi
informasi tentang PPIA.
· Penggunaan ARV bagi ibu hamil dengan HIV positif dan
penggunaan profilaksis bagi bayi baru lahir dari ibu HIV positif.
· Penyediaan layanan PPIA, terutama di Tanah Papua dan
kota-kota. n Penerapan KTIP (PITC) di layanan KIA untuk mempercepat upaya
pencegahan.
· Membuka akses pilihan kontrasepsi bagi laki-laki
dengan HIV positif dan pasangannya selain kondom.
· Meningkatkan keterampilan tenaga kesehatan, termasuk
Bidan tentang PPIA. n Mengoptimalkan peran jaringan komunitas perempuan positif
untuk koordinasi dan komunikasi dalam perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan
penelitian terkait HIV baik di tingkat nasional maupun daerah.
· Melalui kebijakan yang kuat dan implementasi pedoman
yang komprehensif sejak 2012, termasuk dengan pengintegrasian PPIA ke dalam
layanan ANC, telah memperkuat cakupan dan pelaksanaan PPIA serta meningkatkan
deteksi jumlah ibu hamil yang HIV positif.
· Pada tahun 2014 sebanyak 268.308 ibu hamil
berusia di atas 15 tahun menerima konseling dan tes HIV serta memperoleh hasil
tes mereka dalam 12 bulan terakhir. Angka ini lebih dari dua kali lipat cakupan
tahun 2013 yaitu sebesar 100.296. Namun dari wanita yang dinyatakan positif,
baru 78,8% (1624/2016) yang menerima ART untuk mengurangi risiko penularan HIV
dari ibu ke anak, meningkat dari 51,86% (1544/3135) pada tahun 2013.
· Pada tahun 2013, lebih dari 25% dari bayi
yang lahir dari ibu HIV positif menerima tesvirologi HIV dalam waktu 2 bulan
kelahiran (angka ini tidak dilaporkan sebelumnya).
· Sampai Oktober tahun 2014, terdapat 915
layanan (163 Rumah sakit, 743 Puskesmas dan 9 Klinik di 33 Provinsi) melaporkan
telah melakukan tes HIV pada ibu hamil (data P2PL tahun 2014).
4.2.2. Mengurangi Dampak Infeksi HIV pada
Anak
· Memperluas akses deteksi dini bagi bayi yang
terlahir dari ibu positif HIV.
· Meningkatkan cakupan pengobatan pediatrik,
termasuk pelatihan staf layanan kesehatan.
· Menyediakan layanan kepatuhan minum obat
untuk anak, termasuk penyediaan layanan yang peka terhadap perkembangan
psikologis dan kognitif anak, layanan tumbuh kembang, pengungkapan status HIV
dan layanan transisi dari anak ke dewasa.
Pp 60
4.3. Perawatan, Dukungan dan
Pengobatan
4.3.1. Meningkatkan Aksesibilitas Tes HIV
· Penjangkauan dan rujukan ke layanan tes.
· Menggunakan cara-cara yang inovatif dalam menjangkau
populasi kunci sehingga berdampak pada peningkatan jumlah orang yang melakukan
tes HIV, termasuk penggunaan media sosial.
· Menormalkan tes HIV dan mendukung komunitas untuk
menggunakan teknologi baru untuk tes HIV.
· Menjaga jumlah pasien dalam cascade perawatan dan
pengobatan termasuk infeksi TB-Hepatitis. n Pelaksanaan TPIK pada fasilitas
kesehatan di 141 kabupaten/ kota prioritas.
· Meningkatkan kapasitas laboratorium dan manajemen
rantai pasokan. n Memastikan ketersediaan ARV pediatrik, termasuk pilihan
rejimen, formulasi ARV, serta menyediakan pedoman bagi penyedia layanan
kesehatan dan pengasuh anak.
· Ketersediaan layanan pemantauan klinis dan laboratoris
termasuk sediaan tes resistensi dan diagnosis dini bagi bayi.
· Mengintegrasikan layanan IMS dan HIV di fasilitas
antenatal dan integrasi layanan TB-HIV, dan HIV-Hepatitis.
·
Pp 61
4.3.2. Menanggulangi Stigma dan Diskriminasi
· Mengambil upaya yang berorientasi pada
penghapusan stigma dari petugas layanan kesehatan kepada ODHA dan populasi
kunci melalui pendidikan, sensitisasi, dan penegakan kebijakan.
· Mengembangkan intervensi yang dapat
mengurangi stigma di tempat layanan, tempat kerja, sarana pendidikan, dan
masyarakat luas.
· Mendorong keterlibatan tokoh masyarakat dan
tokoh agama sebagai bagian dari kampanye anti stigma dan diskriminasi.
Pp 62
4.3.3. Inisiasi dan Retensi Pengobatan n Pemberdayaan
ODHA dengan dukungan sebaya untuk mendorong inisiasi dan kepatuhan minum obat.
· Mengintegrasikan tes dan layanan HIV untuk
meningkatkan cakupan layanan melalui desentralisasi dengan membentuk 475
puskesmas satelit yang dapat memberilan layanan ART, dengan monitoring dari rumah
sakit pengampu.
· Desentralisasi harus didukung oleh pengalihan tugas
sehingga layanan dapat dilakukan mulai dari rumah sakit rujukan sampai
puskesmas.
4.3.4. Ketersediaan dan Keterjangkauan Obat terkait
HIV
· Menjamin ketersediaan ARV lini 2.
4.3.5. Akselerasi dan Implementasi SUFA
· Meningkatkan jumlah orang yang melakukan tes,
perawatan dan mendapatkan ARV bagi orang yang memenuhi syarat dan meningkatkan
retensi dan kepatuhan.
· Peningkatan kapasitas dari 75 kabupaten/ kota
prioritas dalam mengelola sistem LKB dan mengimplementasikan SUFA.
· Tim nasional dukungan teknis perlu terus
bertanggungjawab dalam perencanaan, supervisi, mentoring, monitoring berbasis
data real-time, evaluasi SUFA, serta dukungan intensif bagi 75 kabupaten/ kota
prioritas.
· Menyediakan fasilitator atau narasumber bagi
kabupaten/ kota prioritas yang membutuhkan untuk mendukung perencanan,
pemetaan, membangun kemitraan, sistem rujukan, pemantauan dan evaluasi,
advokasi anggaran bagi pembeli obat, peralatan tes, reagen, serta dukungan bagi
komunitas.
· Mendukung
kabupaten/ kota prioritas untuk menyiapkan rencana tahunan dengan target pengobatan
yang lebih ambisius.
· Peningkatan kapasitas Dinas Kesehatan di 75 kabupaten/
kota prioritas SUFA untuk meningkatkan kualitas dukungan teknis didaerahnya,
terutama dalam hal merespon cascade pengobatan dan desentralisasi layanan.
· Pelibatan populasi kunci untuk memperkuat pemetaan,
perencanaan dan penyediaan layanan.
· Membuat strategi di tingkat lokal untuk mencegah
transmisi HIV vertikal dan memperluas layanan bagi perempuan hamil dan anak
yang terdiagnosis HIV.
· Mengembangkan model tes berbasis komunitas untuk
meningkatkan jumlah tes antara lain dengan cara meningkatkan layanan
penjangkauan, layanan tes yang lebih dekat dengan target sasaran, pemanfaatan
media sosial, metode penjangkauan dan rujukan yang lebih efektif, dan
memperkuat dukungan kapasitas laboratorium dan supply chain management.
4.3.6. Desentralisasi Layanan HIV ke dalam Sistem
Layanan Primer
Desentralisasi layanan HIV ke dalam sistem
layanan primer, konsep LKB-PMTS mendorong integrasi utuh layanan IMS, HIV
serta Kesehatan Seksual dan Reproduksi, serta layanan Antenatal dan layanan
penyakit kronis termasuk layanan diagnostik kanker serviks dan TB:
· Peningkatan dan penguatan desentralisasi layanan HIV
ke Puskesmas.
· Pembentukan Pokja dan rencana terinci perlu disiapkan
segera. n Kebijakan yang menghambat perluasan SUFA perlu ditinjau.
· Integrasi TB-HIV merupakan prioritas, termasuk
pembentukan pokja TB-HIV. n Pemberian dukungan teknis di tingkat lokal,
termasuk PMTS, tes IMS rutin, VCT, rujukan.
· Mengambil langkah-langkah yang dibutuhkan untuk
memperkuat implementasi panduan layanan dan monitoring kepatuhan minum obat.
· Desentralisasi kegiatan terkait HIV dengan kegiatan berbasis
komunitas.
Pp 65
4.5.1.2. Pemantauan
· Perlu dikembangkan indikator program
penanggulangan AIDS yang dapat melihat tingkat pemenuhan Hak Asasi Manusia dan
keberpihakan jender, termasuk diantaranya kualitas jender.
· Melakukan audit kebijakan dan program di
tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/ kota sampai desa yang bertentangan
dengan prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia dan kesetaraan jender.
· Menyesuaikan kebijakan daerah dengan
kebijakan nasional, sehingga terwujudnya kebijakan yang saling mendukung satu
dengan yang lainnya, dengan tetap memperhatikan prinsip-prinsip Hak Asasi
Manusia dan kesetaraan jender, guna memastikan keberpihakan jender dan
perlindungan hak-hak perempuan, ODHA dan populasi kunci dalam bidang pekerjaan,
pendidikan dan kesehatan.
· Mengembangkan dokumentasi tentang dampak
hukum kebijakan dan program penanggulangan HIV dan AIDS pada perempuan,
populasi kunci ODHA baik tingkat nasional dan kabupaten/ kota.
· Melakukan studi indeks stigma untuk mengembangkan
dokumentasi dasar untuk stigma dan diskriminasi yang dialami ODHA dan populasi
kunci.
· Mendorong lahirnya panduan yang dapat
mengoptimalkan kepatuhan maupun kesesuaian peraturan di tingkat provinsi dan
kabupaten/ kota terhadap standar Hak Asasi Manusia internasional.
Pp 80
Tabel 5.6. Target Tahunan Cakupan PPIA (dalam %)
Tabel 5.7. Target Rencana Pengembangan PPIA
Pp 82
Gambar 5.1. Kerangka Kerja Monitoring dan Evaluasi
5.2. Kerangka Kerja dan Indikator
Utama
5.2.1. Kerangka Kerja
Monitoring dan evaluasi dijalankan mengikuti suatu
kerangka kerja sistem yang dapat menilai setiap tahap pelaksanaan program,
mulai dari tahap input, proses kegiatan, output, hasil sampai dengan dampak
program, sebagaimana tergambar pada diagram berikut:
5.2.2. Indikator Input Indikator input meliputi
pengeluaran dana baik oleh mitra pengembangan nasional maupun internasional,
pengembangan kebijakan HIV dan AIDS serta status implementasi kebijakan
tersebut, dan penguatan kelembagaan yang mencakup kelembagaan KPA (berikut
seluruh sektor yang menjadi anggota) baik di tingkat nasional maupun daerah.
Indikator ini penting untuk menilai perkembangan keberlanjutan program.
Indikator input yang perlu didapatkan dari tingkat nasional, provinsi dan
kabupaten/ kota setidaknya adalah sebagai berikut:
1. Penggunaan dana nasional (pusat dan daerah) untuk
program HIV dan AIDS berdasarkan kategori sumber pendanaan. Metode pengumpulan
data: National AIDS Spending Assessment (NASA). Frekuensi pengukuran: setiap
dua tahun sekali. Penanggung jawab: Sekretariat KPAN.
2. Terlaksananya penilaian National Commitment and
Policy untuk menilai kemajuan implementasi kebijakan program HIV dan AIDS.
Metode pengumpulan data: pengkajian dengan melakukan diskusi dengan mitra kerja
pemerintah dan OMS di tingkat nasional dengan menggunakan kuesioner NCPI.
Frekuensi pengukuran: setiap dua tahun sekali. Penanggung jawab: Sekretariat
KPAN.
3. Jumlah KPAK yang telah memenuhi perkembangan
institusi sesuai dengan kriteria yang ditentukan. Metode pengumpulan data:
Penilaian penguatan kelembagaan. Frekuensi pengukuran: setiap setahun sekali.
Penanggung jawab: Sekretariat KPAN.
4. Jumlah Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) yang
mendapat bantuan dana untuk program HIV berdasarkan sumber pemerintah dan internasional.
Metode pengumpulan data: pemantauan rutin KPAN. Frekuensi pengukuran: setiap
setahun sekali. Penanggung jawab: Sekretariat KPAN
5. Jumlah OMS (Organisasi Masyarakat Sipil) populasi
kunci yang mendapat peningkatan kapasitas dalam pengetahuan dan kemampuan
advokasi kebijakan. Metode pengumpulan data: Diskusi dengan mitra kerja
pemerintah dan OMS di tingkat nasional dengan menggunakan kuesioner NCPI.
Frekuensi pengukuran: setiap dua tahun sekali. Penanggung jawab: Sekretariat
KPAN.
6. Adanya kebijakan yang non diskriminatif dan sesuai
dengan prinsip HAM dan keseteraan gender pada ODHA, populasi kunci dan kelompok
rentan lainnya yang diimplementasikan secara efektif di nasional dengan
menggunakan instrument NCPI. Metode pengumpulan data: Diskusi dengan mitra
kerja pemerintah dan OMS di tingkat nasional dengan menggunakan kuesioner NCPI.
Frekuensi pengukuran: setiap dua tahun sekali. Penanggung jawab: Sekretariat
KPAN.
5.2.3 Indikator Kegiatan
Indikator kegiatan mencakup pelaksanaan program
nasional, yaitu perluasan dan peningkatan pencegahan kombinasi HIV, perluasan
dan peningkatan mutu layanan perawatan, dukungan dan pengobatan, pengurangan
infeksi HIV vertical, perluasan cakupan mitigasi dampak, penciptaan lingkungan
yang mendukung serta peningkatan keberlanjutan program.
1. Jumlah rumah sakit yang telah menyediakan layanan
perawatan, dukungan dan pengobatan (PDP) dan pencegahan penularan dari Ibu ke
Anak (PPIA). Metode pengumpulan data: berasal dari data laporan rutin.
Frekuensi pengukuran: dua tahun sekali. Penanggung jawab: Kemenkes.
2. Jumlah Puskesmas dengan layanan perawatan, dukungan
dan pengobatan. Metode pengumpulan data: berasal dari data laporan rutin.
Frekuensi pengukuran: satu tahun sekali. Penanggung jawab: Kemenkes.
3. Jumlah Kab/Kota yang memiliki layanan perawatan,
dukungan dan pengobatan. Metode pengumpulan data: berasal dari data laporan
rutin. Frekuensi pengukuran: satu tahun sekali. Penanggung jawab: Kemenkes.
4. Jumlah Kab/kota dengan fasilitas layanan pencegahan
penularan dari ibu ke anak. Metode pengumpulan data: berasal dari data laporan
rutin. Frekuensi pengukuran: secara adhoc. Penanggung jawab: Kemenkes.
5. Jumlah
Puskesmas dengan fasilitas layanan pencegahan penularan dari ibu ke anak prong
1 dan 2 serta 1,2,3 dan 4. Metode pengumpulan data: berasal dari data laporan
rutin. Frekuensi pengukuran: secara adhoc. Penanggung jawab: Kemenkes.
5.2.4. Indikator Output Indikator output adalah
cakupan program khususnya terhadap populasi kunci. Cakupan program nasional
diukur terhadap seluruh populasi kunci yang dijangkau oleh program pencegahan,
program perawatan, dukungan dan pengobatan serta pengurangan infeksi HIV
vertikal. Rincian target tahunan indikator cakupan program terdapat pada table
5.1 – 5.8. indikator ini penting untuk menilai secara berkala perkembangan
program di lapangan.
1. Persentase populasi kunci yang terjangkau program
pencegahan. Metode pengumpulan data: berasal dari data laporan rutin dan
estimasi (Kemkes). Frekuensi pengukuran: setiap tahun. Penanggung jawab: OMS
dan sekretariat KPAN.
2. Persentase ODHA yg mengetahui status HIV. Metode
pengumpulan data: berasal dari data laporan rutin dan estimasi. Frekuensi
pengukuran: bulanan. Penanggung jawab: Kemenkes.
3. Persentase ODHA Dewasa (>14 th) yang memenuhi
syarat ART mendapatkan ART. Metode pengumpulan data: berasal dari data laporan
dan estimasi. Frekuensi pengukuran: triwulanan. Penanggung jawab: Kemenkes.
4. Persentase ODHA Anak (≤14 th) yang memenuhi syarat
ART mendapatkan ART. Metode pengumpulan data: berasal dari data laporan rutin dan
estimasi. Frekuensi pengukuran: triwulanan. Penanggung jawab: Kemenkes.
5. Proporsi ODHA yang tetap mengkonsumsi ARV dalam 12
bulan. Metode pengumpulan data: berasal dari data laporan kohort rutin.
Frekuensi pengukuran: setiap tahun. Penanggung jawab: Kemenkes.
6. Persentase pasien koinfeksi TB-HIV yang mendapat
pengobatan ARV. Metode pengumpulan data: berasal dari data laporan rutin.
Frekuensi pengukuran: triwulanan. Penanggung jawab: Kemenkes.
7. Persentase ibu hamil di tes HIV. Metode pengumpulan
data: berasal dari data laporan rutin. Frekuensi pengukuran: setiap bulan.
Penanggung jawab: Kemenkes.
8. Persentase Ibu Hamil HIV mendapat ARV. Metode
pengumpulan data: berasal dari data laporan rutin. Frekuensi pengukuran: setiap
bulan. Penanggung jawab: Kemenkes.
9. Persentase bayi lahir hidup dari Ibu HIV mendapat
ARV profilaksis. Metode pengumpulan data: berasal dari data laporan rutin.
Frekuensi pengukuran: setiap bulan. Penanggung jawab: Kemenkes
10. Proporsi rumah tangga miskin yang menerima
dukungan ekonomi selama 3 bulan. Metode pengumpulan data: berasal dari data
survey. Frekuensi pengukuran: setiap tahun dan 5 tahun sekali. Penanggung
jawab: Kemensos, dan TNP2K 11. Proporsi ODHA yang mengikuti program JKN. Metode
pengumpulan data: berasal dari data survey khusus. Penanggung jawab:
Sekretariat KPAN. 12.Jumlah kasus kekerasan berbasis gender. Frekuensi
pengukuran: setiap tahun. Metode pengumpulan data: laporan rutin. Penanggung
jawab: Kemeneg PP, Komnas Perempuan, dan IPPI.
5.2.5. Indikator Hasil Indikator hasil untuk melihat
sejauh mana hasil pelaksanaan program telah dapat merubah perilaku berisiko
menjadi perilaku aman dari kelompok kunci, baik perilaku pencegahan maupun
perilaku pengobatan. Indikator ini penting untuk menilai perkembangan efektifitas
program.
1. Persentase remaja usia 15-24 tahun populasi umum
yang memiliki pengetahuan komprehensif HIV dan AIDS. Metode pengumpulan data:
berasal dari data survey, SDKI, Riskesdas. Frekuensi pengukuran: setiap lima
tahun. Penanggung jawab: BKKBN, Kemenkes. 2. Persentase populasi kunci yang
memiliki pengetahuan komprehensif HIV dan AIDS. Metode pengumpulan data: IBBS,
SCP. Frekuensi pengukuran: 4 tahun sekali dan setahun sekali. Penanggung jawab:
Kementerian Kesehatan dan KPAN.
3. Persentase remaja wanita dan pria usia 15-24 tahun
yang mulai melakukan hubungan seks sebelum usia 15 tahun. Metode pengumpulan
data: SDKI remaja. Frekuensi pengukuran: 5 tahun sekali. Penanggung jawab:
BKKBN dan BPS.
4. Persentase wanita dan pria (15-49 tahun) memiliki
pasangan seks lebih dari satu dan menggunakan kondom pada hubungan seks
terakhir. Metode pengumpulan data: SDKI. Frekuensi pengukuran: 5 tahun sekali.
Penanggung jawab: BPS.
5. Persentase wanita pekerja seks yang melaporkan
menggunakan kondom dengan klien terakhir mereka. Metode pengumpulan data: IBBS,
SCP. Frekuensi pengukuran: 4 tahun sekali dan setahun sekali. Penanggung jawab:
Kementerian Kesehatan dan KPAN.
6. Persentase wanita pekerja seks yang melaporkan
menggunakan kondom dengan klien seminggu terakhir mereka. Metode pengumpulan
data: IBBS, SCP. Frekuensi pengukuran: 4 tahun sekali dan setahun sekali.
Penanggung jawab: Kementerian Kesehatan dan KPAN
7. Persentase LSL yang melaporkan menggunakan kondom
pada hubungan seks anal terakhir. Metode pengumpulan data: IBBS, SCP. Frekuensi
pengukuran: 4 tahun sekali dan setahun sekali. Penanggung jawab: Kementerian
Kesehatan dan KPAN.
8. Persentase LSL yang melaporkan menggunakan kondom
secara konsisten pada hubungan seks anal dalam sebulan terakhir. Metode
pengumpulan data: IBBS, SCP. Frekuensi pengukuran: 4 tahun sekali dan setahun
sekali. Penanggung jawab: Kementerian Kesehatan dan KPAN.
9. Persentase Waria yang melaporkan menggunakan kondom
pada hubungan seks anal terakhir . Metode pengumpulan data: IBBS, SCP. Frekuensi
pengukuran: 4 tahun sekali dan setahun sekali. Penanggung jawab: Kementerian
Kesehatan dan KPAN.
10. Persentase Waria yang melaporkan menggunakan
kondom secara konsisten pada hubungan seks anal dalam seminggu terakhir. Metode
pengumpulan data: IBBS, SCP. Frekuensi pengukuran: 4 tahun sekali dan setahun
sekali. Penanggung jawab: Kementerian Kesehatan dan KPAN.
11. Persentase pengguna NAPZA suntik (Penasun) yang
melaporkan penggunaan kondom pada hubungan seks terakhir. Metode pengumpulan
data: IBBS, SCP. Frekuensi pengukuran: 4 tahun sekali dan setahun sekali.
Penanggung jawab: Kementerian Kesehatan dan KPAN.
12. Persentase pengguna NAPZA suntik (Penasun) yang
melaporkan penggunaan kondom konsisten pada hubungan seks sebulan terakhir.
Metode pengumpulan data: IBBS, SCP. Frekuensi pengukuran: 4 tahun sekali dan
setahun sekali. Penanggung jawab: Kementerian Kesehatan dan KPAN.
13. Persentase pengguna NAPZA suntik (Penasun) yang
menggunakan alat suntik steril pada saat menyuntik terakhir. Metode pengumpulan
data: IBBS, SCP. Frekuensi pengukuran: 4 tahun sekali dan setahun sekali.
Penanggung jawab: Kementerian Kesehatan dan KPAN.
14. Persentase pengguna NAPZA suntik (Penasun) yang
menggunakan alat suntik steril pada saat menyuntik sebulan terakhir. Metode
pengumpulan data: IBBS, SCP. Frekuensi pengukuran: 4 tahun sekali dan setahun
sekali. Penanggung jawab: Kementerian Kesehatan dan KPAN.
15. Prevalensi Sifilis pada populasi kunci. Metode
pengumpulan data: Sentinel SeroSurvey. Frekuensi pengukuran: setiap tahun.
Penanggung jawab: Kementerian Kesehatan.
5.2.5. Indikator Dampak Indikator dampak digunakan
untuk melihat dampak program terhadap epidemi HIV, yang diukur dengan
prevalensi HIV pada populasi kunci, dan populasi umum untuk Tanah Papua.
1. Prevalensi HIV pada ibu hamil usia 15-49 tahun.
Metode pengumpulan data: Sentinel surveilans ANC. Frekuensi pengukuran: setiap
tahun. Penanggung jawab: Kemkes
2. Prevalensi HIV pada populasi kunci. Metode
pengumpulan data: Sentinel surveilans, IBBS. Frekuensi pengukuran: setiap tahun
dan empat tahun sekali. Penanggung jawab: Kemkes
3. Jumlah infeksi HIV baru pada populasi kunci. Metode
pengumpulan data: Studi khusus (Modeling). Penanggung jawab: Kementerian
Kesehatan.
4. Jumlah/persentase ODHA yang mendapatkan diskriminasi
dari suami/istri atau pasangannya, atau anggota keluarga lainnya karena status
HIV positif dalam 12 bulan terakhir. Metode pengumpulan data: Studi khusus,
studi diskriminasi.
5. Persentase ODHA yang ditolak oleh layanan kesehatan
(termasuk layanan kesehatan gigi), akses pendidikan dan tempat kerja karena
status HIV positif. Metode pengumpulan data: Studi khusus.
Comments
Post a Comment