WRITING: Harapan Ibu Positif HIV di Palembang "Aku ingin anakku bebas dari HIV"-hope of HIV positive women in Palembang "I want a free HIV child



Harapan Ibu Positif HIV di Palembang
"Aku ingin anakku bebas dari HIV"
Najmah



Cited Najmah, 2017, Harapan Ibu Positif HIV Di Palembang "Aku Ingin Aanakku Bebas dari HIV" (hope of HIV positive women in Palembang "I want a free HIV child), Sriwijaya Post (Newspaper), 4 December, 2017, retrived from http://palembang.tribunnews.com/2017/12/04/harapan-ibu-positif-hiv-di-palembang-aku-ingin-aanakku-bebas-dari-hiv?page=all

Aku, Anggrek (bukan nama sebenarnya) memulai hidup baru dengan suami keduaku yang HIV negatif. Aku membuka status HIVku kepadanya. Kami memutuskan untuk menggunakan alat kontrasepsi (Kondom) untuk tidak menularkan HIV kepada suamiku. Alhamdulillah, setelah pengobatan ARV saya memutuskan untuk mempunyai anak kembali. Sekarang aku mempunyai anak bebas HIV setelah akses program PPIA dari sejak hamil dan hingga anak kami berusia 18 bulan dan dinyatakan bebas dari HIV, aku pun bersujud syukur.

…Aku, Kenanga, ibu positif HIV, sudah melahirkan dua anak. Anak pertamaku meninggal dunia karena Pneumonia. Pada hamil anak kedua, saya sudah tahu status HIVku, namun aku memutuskan untuk melahirkan di bidan di dekat rumahku, tanpa membuka status HIVku…..

‘Bunga’ (bukan nama sebenarnya), aku menikah dengan suamiku tiga tahun silam. Saya memberanikan diri untuk diperiksa HIV di salah satu Puskesmas ketika saya hamil, hasilnya POSITIF. Aku bersama suami rutin melakukan pengobatan ARV dan berharap anak saya pun tidak tertular. Namun, aku cukup menelan sedikit kekecewaan karena oknum tenaga kesehatan membiarkan anakku lahir normal karena kurang adanya koordinasi antar mereka dan jadwal operasiku yang terakhir. Aku hanya berharap, kami, ibu positif HIV tetap dilayani dengan optimal tanpa melihat status HIVku karena kami ingin tidak ada peluang 1 % pun HIV tertular pada anak-anak kami.


Bunga, Anggrek dan Kenanga adalah contoh kasus HIV pada ibu rumah tangga di Kota Palembang. Ketiganya tertular dari pasangannya, yang dulunya pernah berbagi jarum suntik dengan sesama pengguna narkoba atau pun pernah bergonta ganti pasangan perempuan lain atau sesame jenis tanpa menggunakan alat pengaman (‘Kondom’). Pelajaran apa yang harus kita ambil, khususnya bagi kita seorang perempuan Indonesia?


Image yang muncul di setiap benak sebagian besar Masyarakat di Indonesia jika di sebutkan kata HIV adalah; Perilaku seksual bebas, narkoba dan perilaku beresiko lainnya. Namun trend penularan sekarang sudah merambah ke masyarakat umum, termasuk ibu rumah tangga dan anak–anak.  Lima tahun terakhir, tiga kendaraan yang menjadi trend adalah penularan HIV melalui hubungan HETEROSEKSUAL diikuti oleh HOMOSEKSUAL dan pengunaan narkoba suntik di Indonesia, termasuk di Sumatera Selatan. Berdasarkan Survey Terpadu Biologis dan Perilaku (2013), sebagian kelompok resiko tinggi, baik pengguna narkoba suntik, lelaki suka lelaki, pekerja seks komersil, laki-laki beresiko tinggi lainnya, memiliki pasangan tetap (istri/suami). Sayangnya, untuk perilaku beresiko dengan pasangan tidak tetapnya, penggunaan kondom pun masih rendah sebagai alat kontrasepsi. Sehingga penularan kepada kelompok yang dianggap ‘resiko rendah’ pun tertular HIV.

Kondisi ini didukung oleh dengan hasil studi saya di lapangan tahun 2017 di Kota Palembang. Berdasarkan belajar lapangan saya bersama ibu positif HIV, tenaga kesehatan serta pendamping sebaya Kota Palembang, suami yang positif, umumnya menularkan HIV kepada pasanganya. Sedihnya, mayoritas ibu positif HIV tau status HIVnya ketika sang suami sakit-sakitan (Tuberkulosis, Pneumonia dll) atau meninggal dunia atau sang buah hati sakit-sakitan (malnutrisi, Pneumonia dll). Tapi tidak menutup kemungkinan, ada perempuan yang tertular dengan model penularan lainnya.

Masa inkubasi yang panjang, bisa mencapai 10-14 tahun, membuat orang yang terinfeksi virus HIV ditubuhnya, merasa dirinya baik-baik saja, baik bagi kelompok yang dianggap ‘beresiko tinggi’, apalagi bagi kelompok yang dianggap ‘beresiko tertular HIV”.  Saya toh masih sehat, salah satu mantan pengguna narkoba suntik bercerita kepada saya. Ditambah lagi, ada proses penolakan dari diri sendiri juga ‘tidak mungkin terkena HIV, misal’ menimbulkan keterlambatan dalam mencari layanan kesehatan HIV terdekat. Sehingga perempuan yang menikah dengan kelompok suami yang pernah melakukan perilaku beresiko pun, tanpa sepengetahuan dirinya telah tertular HIV. Parahnya lagi, sang istri yang rata-rata pada kategori ‘usia subur’ dan tanpa sadar penularan HIV kepada istri juga beresiko menularkan HIV pada anak-anaknya kelak. Ya, diantara 10 orang ibu hamil positif, 2-5 orang ibu positif beresiko menularkan HIV pada anak-anaknya di dalam kandungan, melalui jalan lahir, atau pun menyusui.

PENCEGAHAN PENULARAN HIV DARI IBU KE ANAK (PPIA)
Ibu positif HIV sama seperti ibu negatif HIV lainnya, mereka ingin menikah kembali, ingin punya anak bebas HIV, juga dan hidup sehat demi anak-anak dan keluarganya. Hal ini pun bisa terwujud. Kementrian Kesehatan pun sudah sepenuhnya sadar akan pentingnya Pelayanan Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke anak. Ya Pedoman Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke anak telah dibuat peraturannya sejak tahun 2013 PERMENKES 51 tahun 2013, lalu diperkuat menjadi pelayanan minimal wajib tes HIV bagi setiap orang beresiko terinfeksi HIV termasuk ibu hamil PERMENKES no 43 tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Minimal. Buku panduan pencegahan HIV, Hepatitis dan Sifilis telah dirancang oleh pemerintah pusat, dan diharapkan semua generasi penerus bebas HIV, Hepatisi dan Sifilis pada tahun 2020. Namun untuk menejawantahkan peraturan ini tidak semudah memutarbalikkan tangan, semua tergantung Sumber Dana, Sumber Daya Manusia, dan Komitmen dari seluruh pihak, ya ini bukan hanya urusan satu institusi saja.

Saat ini dinas kesehatan Kota Palembang dan Sumatera Selatan sedang giat-giatnya untuk melaksanakan Screening penyakit menular, termasuk HIV. Ya, Palembang akan menjadi percontohan penemuan deteksi dini HIV pada kelompok ibu hamil untuk mencegah penularan selanjutnya pada anak-anaknya. Sehingga, ibu rumah tangga sekali pun akan cepat tahu jika dia terinfeksi virus HIV dan anak-anaknya bisa bebas HIV jika mengikuti program pecegahan HIV dari ibu ke anak di Puskesmas terdekat. Walau kita sudah tertinggal, 10 tahun dari Selandia Baru, dimana tempat saya menempuh ilmu dan beberapa tahun dari negara tetangga kita. Negara ini sudah tidak ditemukan lagi penularan HIV dari ibu positif ke anak karena tes HIV menjadi kewajiban sejak hamil pada bulan pertama dan sebelum melahirkan. Namun, Indonesia pun bisa melakukan eliminasi HIV,  dengan komitmen bersama.

Komitmen bersama, baik dari pihak layanan kesehatan, pengambil kebijakan di layanan kesehatan (baik layanan swasta maupun pemerintah) dan seluruh tenaga kesehatan (bidan, dokter kandungan, dokter penyakit dalam dll), organisasi profesi kesehatan serta masyarakat. Senyuman, rangkulan dan motivasi dari orang sekitar ibu positif, suami, keluarga dan tenaga kesehatan dibutuhkan untuk keberhasilan program ini yang secara statistik baru 10 % yang mengakses layanan pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak (PPIA) hingga tuntas. Kesadaran diri kita, sebagai perempuan juga harus ditingkatkan dengan mengajak pasangan untuk tes HIV, sebelum nikah, sebelum merencakanan kehamilan dan ketika kehamilan patut dipertimbangkan.


‘STIGMA HIV MEMATIKAN YANG AKUT
Berkaca dari pengalaman Ibu Positif Kota Palembang, menerima status sebagai Ibu positif HIV adalah pengalaman terburuk dalam hidup mereka. Ada yang dijauhi oleh keluarga, ada yang depresi, ada yang menyalahkan pasangan, dan ada juga yang berakhir dengan perceraian hingga meninggal dunia. Peranan keluarga terdekat dan tenaga kesehatan sangatlah dibutuhkan untuk menguatkan kondisi Psikologis si ibu. Selain itu juga, hal yang paling utama adalah sang ibu positif HIV harus berani mengurangi stigma di dalam diri sendiri dan yakin akan keberhasilan program ini.

Kita akan biasa jika mendengar, sang artis meninggal karena Kanker Serviks, eh si ‘Melati’ sakit Hepatitis B, eh si ‘Merpati’ kena TB, tapi akan menjadi luar biasa jika mendengar si Mawar eh dia HIV, hati hati, Padahal, jika kita lihat dari si penyakit, penderita kanker Serviks akan sadar jika dia menderita penyakit ini pada stadium lanjut dan akan sangat sulit disembuhkan; Hepatitis B- sangat mudah tertular hanya dengan bertukar barang pribadi-baju sikat gigi-; dan TB yang mudah sekali menular lewat percikan batuk si penderita. Sedangkan HIV sangat tidak mudah menularkan seperti penyakit lainnya, tetapi sangat ditakuti.

Menjadi perempuan, merupakan faktor resiko tersendiri dibudaya patriarki kita. Berdasarkan beberapa studi perempuan dan HIV di Indonesia, umumnya perempuan akan lebih menutup diri ketika dia terinfeksi HIV. Perempuan dengan HIV identik dengan ‘wanita nakal’, wanita selingkuh’ atau pun ‘karma/kutukan’. Sehingga, sudah tersandung batu, tertimpa tangga pula.

HIV yang identik dengan penyakit yang mematikan, sehingga wajar saja banyak yang takut akan kondisi dengan HIV, termasuk tenaga kesehatan dan masyarakat umum. Namun, sekarang HIV itu identik dengan sehat dan bugar, namun untuk membuka status HIV didepan umum, masih hal yang sulit bagi mereka pada masyarakat kita. HIV itu tidak mematikan, nyatanya kami sehat begini, tetapi Stigma dan Diskriminasi itu yang mematikan, celetus seorang ibu positif kota Palembang. Sehingga, motivasi perempuan positif HIV untuk mengakses pelayanan sangat harus diapresiasi, karena keberanian mereka melawan arus yang ada, ya mereka mau SEHAT demi anak-anak mereka kelak.


MERUBAH PARADIGMA TENTANG HIV DIMULAI DARI DIRI KITA SENDIRI
Mengubah paradigma penularan HIV terutama bagi para tenaga kesehatan; Setiap orang beresiko tertular HIV-belajar dari kasus beberapa ibu positif di Kota palembang:
1.     HIV dapat menular pada ibu rumah tangga dan anak-anak. Seperti contoh, tertular dari suami mereka yang mungkin dulunya pernah bertukar pasangan (homoseksual ataupun heteroseksual) dan menggunakan narkoba suntik bersama. Dan itu pun membuka peluang penularan HIV kepada bayinya jika ibu mengandung. Kita pun sebagai perempuan, terkadang sangat percaya pada pasangan kita dan tidak mengetahui perilaku pasangan kita atau pun tidak mau tahu, yang dapat meningkatkan resiko penularan HIV ke pada kita dan anak-anak.
2.     Tanpa kewaspadaan universal, tenaga kesehatan pun atau pasien lainnya beresiko tertular HIV, tanpa disadari. Seperti kasus Kenanga, karena ketakutan yang luar biasa, Kenanga, ibu positif HIV, tetap memutuskan untuk melahirkan di bidan terdekat tanpa membuka status HIVnya. Apa yang bisa terjadi jika si Bidan tidak menggunakan sterilisasi yang optimal untuk alat-alat medis yang telah digunakan Kenanga? Apa yang bisa terjadi jika bidan menggunakan jarum jahit yang tajam buat menjahit luka jalan lahir dll. Dan pikirkan resiko lainnya…? Walau dengan memperhatikan prinsip penularan HIV ‘ESSE’ (Exit, Sufficient, Survive, and Enter) bahwa HIV tidak mudah menular jika ke empat prinsip ini tidak terjadi bersamaan, namun secara prosedural layanan kesehatan (SOP), semua alat medis seharusnya disterilisasi dengan ultraviolet dan ruangan operasi setelah digunakan ibu positif HIV melahirkan sebaiknya tidak digunakan 1x24 jam. 
3.     HIV tidak menular jika menggunakan pengaman (Kondom). Seorang pengidap HIV misalnya tidak ingin menularkan HIVnya kepada suami keduanya, dia memutuskan untuk menggunakan kondom saat berhubungan seksual. Akses pengobatan ARV (antiretroviral) di layanan VCT yang tesebar di beberapa Puskesmas dan Rumah sakit juga daoat mengurangi volume virus HIV (viral load) di dalam tubuhnya. Beberapa studi menyebutkan, ODHA (orang yang hidup dengan HIV) akan menurunkan resiko menularkan HIV kepada pasanganya jikalau dia mengkonsumsi ARV secara teratur dan dalam waktu jangka panjang.
4.     HIV dari ibu positif HIV bisa memiliki anak bebas HIV. Ibu positif HIV akan menurunkan resiko penularan hingga dibawah 2 % jika selama hamil mengkonsumsi obat ARV, melahirkan lewat operasi (sesar) dan memberikan susu formula pengganti ASI. Sehingga mengetahui status HIV sejak dini dengan mengikuti tes HIV pada screening HIV di Puskesmas dan Rumah Sakit atau menawarkan diri untuk tes HIV merupakan langkah awal pencegahan Penularan HIV dari ibu/orang tua ke anak- PPIA.
5.     HIV tidak menular jika bersentuhan dan berpelukan langsung, praktekkanlah dengan berinteraksi dengan ODHA. HIV tidak menular kepada kita jika kita bersentuhan darah mereka dan anda tidak memiliki luka yang terbuka. Mungkin sebagian dari kita tahu bahwa HIV tidak menular lewat berbagi makanan, bersalaman, berpelukan, dll, namun untuk merubah perilaku yang ‘Takut berinteraksi dengan Ibu positif’ harus dengan langkah yang nyata. Misal, bagi saya-pada saat itu lagi hamil- untuk mengeliminasi STIGMA yang ada dengan berinteraksi dan nongkrong bareng dengan mereka, berbagi makanan, memeluk erat, mengunjungi mereka atau mengajak anak saya bermain dengan anak mereka.

Selanjutnya….
Jikalau kita analogikan proses pembuatan empek-empek kapal selam, bagaimana seluruh bahan dari sagu, ikan, garam, gula, telur berpadu didalam suatu adonan untuk membentuk satu pempek kapal selam. Begitu pula penanggulangan HIV, terutama pada ibu rumah tangga dan anak memerlukan banyak komponen: adanya dukungan pasangan, terbuka status HIV pada pasangan, pelukan erat tenaga kesehatan di layanan, pendamping yang siap siaga, berbagai instansi yang menyediakan layanan kesehatan, dukungan sosial dan ekonomi untuk ODHA yang belum mandiri, serta dukungan organisasi kesehatan-bidan, dokter kandungan- serta LSM terkait HIV duduk dalam harmonisasi suatu program, “bukan hanya menjalankan program sendiri dan duduk rapat setelah itu kembali ke rutinitas masing-masing”, sehingga sebuah Visi Misi bisa tercapai secara bersama-sama.

Jika tidak dilakukan dari sekarang, analogi ini yang sedang terjadi di Sumatera Selatan akan terus terjadi. Dengan mengutip salah satu Dokter Kandungan Kota Palembang yang peduli ibu positif ‘semuanya itu melewati lampu merah, tetapi yang tertangkap polisi cuma belakangnya’….Begitulah kasus HIV pada ibu usia subur dan anak positif HIV di Indonesia.

Harapan sederhana ibu positif itu, “aku ingin anakku bebas dari HIV”, bisa terwujud. Selamat Hari HIV/AIDS sedunia, 1 Desember 2017, semoga dari hari ini kita mulai memahami apa itu arti HIV, mencegah penularan HIV sejak dini, dan mulai merangkul mereka yang positif HIV untuk hidup sehat bersama anak-anak mereka yang bebas HIV>

** Ibu tiga balita, Ph.D candidate di Auckland University of Technology-Selandia
Baru,Dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sriwijaya- Palembang.











Comments