BOOK: Evaluasi Dampak Peningkatan Kapasitas HKSR di 3 Kota
Book
Reference
Ikatan
Perempuan Positif Indonesia, 2017, Evaluasi Dampak Peningkatan Kapasitas HKSR
di 3 Kota, IPPI, Jakarta
Important
quotation;
HKSR- Hak
Kesehatan Seksual dan Reproduksi
Book
Reference
Ikatan
Perempuan Positif Indonesia, 2017, Evaluasi Dampak Peningkatan Kapasitas HKSR
di 3 Kota, IPPI, Jakarta
Important
quotation;
HKSR- Hak
Kesehatan Seksual dan Reproduksi
Ringkasan Eksekutif
Mixed methods, Lampung-DKI Jakarta-Surabaya,
FGD with 30 WLWH, 30 stakeholders, online survey monkey of 89 respondents;
indepth interview
Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR)
adalah salah satu isu penting terkait perempuan dengan HIV di Indonesia. Pada
2011, IPPI dengan dukungan mitra-mitranya membuat sebuah modul komprehensif
berjudul Kesehatan Seksual Perempuan “Pemenuhan Hak, Kesehatan Seksual dan Reproduksi
Perempuan”. Melalui modul ini, IPPI menyelenggarakan serangkaian pelatihan bagi pelatih untuk
menciptakan pelatih pelatih handal dari lingkungan IPPI maupun mitra organisasi
serta untuk menginternalisasikan HKSR bagi penguatan organisasi dan secara luas
bagi program penanggulangan AIDS di Indonesia.
Setelah enam tahun berlalu, pada akhir 2017
IPPI berupaya memotret dampak dari penerapan modul HKSR ini pada level
anggotanya sebagai bagian dari evaluasi dampak intervensi program yang
dilakukan. Evaluasi dilakukan dengan melihat sejumlah aspek dalam kehidupan
keseharian anggota IPPI terkait penerapan HKSR di tiga lokasi penelitian, yaitu
LAMPUNG, DKI JAKARTA, dan SURABAYA.
Kajian evaluasi dilakukan melalui pendekatan
mixed-methods kualitatif dan kuantitatif dengan framework RE-AIM (Reach,
Effectiveness, Adoption, Implementation, dan Maintenance) untuk mencapai tujuan
yang telah ditetapkan. Data dikumpulkan melalui FGD dengan 10 perempuan dengan
HIV di masing masing lokasi, wawancara mendalam dengan penyedia layanan dan
stakeholder (pemerintah) di setiap lokasi dan self-administered survey melalui
kuesioner dengan perangkat online SURVEYMONKEY yang melibatkan 89 responden
dengan HIV.
Evaluation of Enhancement of knowledge of HIV
transmission and prevention, PMTCT services, domestic violence, gender equality
Evaluasi ini menunjukkan sejumlah temuan,
diantaranya penerapan modul HKSR oleh IPPI telah memberikan sejumlah dampak
positif pada anggotanya. Pelatihan yang diberikan telah meningkatkan
pengetahuan anggotanya akan berbagai informasi mendasar mulai dari pencegahan
HIV/AIDS, IMS maupun pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak (PPIA) yang
komprehensif. Dalam konteks gender, sebagian anggota IPPI juga kini memiliki
kesadaran yang sangat baik terkait posisi tawarnya di hadapan pasangan,
termasuk dalam menghadapi kasus KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (KDRT). Kesadaran
lain yang muncul adalah kepercayaan diri terkait status HIV-nya dan keberanian
untuk menentukan kehamilan sebagai bagian dari haknya sebagai perempuan.
FINDING
Enhancement of knowledge of awareness of behavior
change, like use condom with their HIV-positive partners
Lack of male spouse’ involvement in accessing health
services
Not all health services provide HIV treatments
Not fully friendly health workers’ attitude
towards women living with HIV
Peningkatan pengetahuan dan kesadaran ini pada
tingkat tertentu berhasil mendorong terjadinya perubahan perilaku. Penggunaan kondom saat berhubungan
seksual menjadi salah satu indikasi keberhasilan penerapan modul HKSR anggota
IPPI. Demikian juga dengan peningkatan akses perempuan dengan HIV ke layanan
kesehatan seperti rumah sakit dan puskesmas. Meski belum dilakukan secara
rutin, namun pada umumnya akses perempuan dengan HIV ke layanan kesehatan
dinilai telah lebih baik. Namun sayangnya, pelibatan pasangan dalam
mengakses layanan kesehatan dinilai masih kurang. Di pihak lain, masih
ditemukan hambatan yang membuat mereka enggan mengakses layanan kesehatan,
diantaranya sarana dan sumber daya layanan kesehatan yang belum siap secara
merata di berbagai daerah. Selain itu, masih ditemukan adanya sikap petugas
layanan yang belum sepenuhnya “ramah” tehadap perempuan dengan HIV.
Need advocacy to provide trainings for HKSR
module to government stakeholders and health services
Not all health workers understand ‘melek’ about
HKSR
Future hope integration of HKSR module to
health systems
Kebutuhan advokasi terkait modul HKSR kepada
stakeholder (pemerintah) dan layanan kesehatan menjadi salah satu temuan
penting dalam studi ini. Di sebagian daerah lokasi penelitian masih ditemukan
adanya petugas layanan yang belum “melek” HKSR pada perempuan
dengan HIV. selaini ni, modul HKSR yang dibuat IPPI sejak 2011 ini permu
mendapat promosi lebih intensif agar dikenal luas, terutama oleh penyedia
layanan kesehatan.
Peran IPPI untuk mengembangkan modul HKSR ini
dipandang strategis, baik oleh anggotanya maupun pemerintah untuk merespon
perkembangan kasus HIV/AIDS di Indonesia, khususnya terkait perempuan. Upaya
untuk mengintegrasikan modul ini ke dalam sistem kesehatan yang lebih luas di
Indonesia merupakan wacana menarik yang disampaikan sejumlah responden dalam
penelitian. Tentu saja, dengan mengedepankan kepentingan masyarakat, khususnya
perempuan dengan HIV.
AIM: to evaluate impact of HKSR module, mapping
coverage and benefit of HKSR module in last five years; evaluate content of
module HKSR
Tujuan EVALUASI:
1.
Secara
umum, evaluasi ini bertujuan untuk mengetahui dampak dan perubahan yang terjadi
pasca implementasi modul kepada anggota IPPI. Secara khusus, tujuan evaluasi
ini adalah sebagai berikut: mengetahui perubahan yang terjadi pada tingkat
individual, komunitas, dan sistem pasca implementasi modul HKSR IPPI:
2.
Memetakan
cakupan dan manfaat dari modul HKSR IPPI yang dicapai dalam lima tahun
terakhir;
3.
Melakukan
penilaian terhadap relevansi konten dari Modul HKSR IPPI berdasarkan temuan
dari evaluasi yang dilakukan
Result:
Hasil
Rejection
for Papsmear’s test in a puskesmas
Institutionalized
stigma and discrimination in health setting
Fears
among health workers towards PLWH
Pp 14-15
Sejumlah
faktor yang membuat perempuan enggan memeriksakan dirinya ke layanan kesehatan.
Pada beberapa tempat, persoalan stigma dan diskriminasi dari penyedia layanan
masih terasa pada perempuan dengan HIV saat akan memeriksakan diri. Beberapa
peserta FGD di Lampung menuturkan, dirinya pernah ditolak untuk mengikuti
pemeriksaan Pap Smear di sebuah puskesmas.
“Kan di
kampung saya ada banyak, satu bidan yang tahu status (HIV) saya. Saya mau ikut
pap smear. (katanya) mbak ngak usah ikutan saja. Jadi
sedih saya. Karena dia tahu status (saya) ODHA (X, FGD, Lampung)”
“Kalau
saya ada yang sakit tuh memang melayaninya kalau takut. Memang sih keluargaku
orang kesehatan, jadi ditutupi biar keluarga aja yang tahu. Tapi kakakku kan
kerja di situ. Terus dia cerita, tadi ada yang sakit kayak kamu, teman-temanku takut. Aku mau jawabin, tai aku ngak
enak karena kakaku kerja disana. Kasihan kalau mau dapat layanan lebih, jadi
terbatas karena dia positif HIV. di dareah masih banyak takut-takutnya” (X,
FGD, Lampung)
lack of
knowledge of right of WLWH to get pregnant and deliver free HIV child
pp 15
Harus
diakui, pehamaman penyedia layanan kesehatan seperti rumah sakit dan puskesmas
menyakut HKSR juga masih belum merata. Pada
ketiga lokasi studi, masih diperoleh informasi adanya penyedia layanan yang
masih belum merata. Pada ketiga lokasi studi, masih diperoleh informasi adanya
penyedia layanan yang masih menyarankan perempuan
dengan HIV untuk tidak hamil dan memiliki anak.
“Boleh
menikah tapi tidak disarankan untuk hamil, ya kita itu tadi mencegah jangan sampai anak
yang terlahir dengan positif HIV. itu dari dokter (menyebutkan nama) kemarin
(N, wawancara Rumah Sakit, Surabaya)
Beberapa
layanan kesehatan seperti rumah sakit juga belum memiliki sarana dan sumber
daya manusia yang memadai untuk menerapkan program layanan terkait HKSR secara
utuh. Ketidaksiapan layanan kesehatan dalam memenuhi HKSR terlihat dari
ungkapan seorang narasumber di Lampung.
Change
of personal in health care services related to HIV
“terus
terang kalau (program kesehatan) reproduktif itu baru sampai PPIA. Saya terus terang belum memperhatikan itu. Karena saya baru
ganti SDM, waktu kita rombak jadi fokusnya masih
ke PDP. Kesehatan reproduksi sudah saya pikirkan karena ada pasangan
zero discordant, yang sudah mulai meminta cara untuk punya anak. Jadi saya
sudah mulai mikir nanti mau dikumpulin dokter peduli HIV/AIDS, nanti akan saya
gaungkan soal itu. Karena pertanyaan itu mulai ada jadi saya yakin kan produktif
semua kan. Itulah kenapa saya sudah mulai mikir nih, tapi memang PR saya
sebagai PDP masih di seputranan yang putus obat, yang lost follow up,
resistensi obat, monitoringnya ngak bener. Nah itu masih fokus saya sekarang.”
(N, Wawancara, Rumah Sakti, Lampung)
Complex
administrative procedures for free health access
Sementara
itu, prosedur administrative juga dirasa cukup menyulitkan bagi sebagian
responden saat akan memeriksakan diri. Meski kemungkinan kasuistis, namun
sebagian responden merasa dipersulit dalam hal terkait surat surat rujukan
misalnya.
“agak
sulit karena harus mengurus ke Dinsos, RT RW, itu agak dipersulit. Sampai anaknya meninggal. Kita mau
menolong untuk teman kita supaya bisa sehat. Tapi ya berat walaupun usaha kayak
apapun susah. Karena baik dari RW maupun camat, masih sangat (memberikan)
stigma dan diskriminasinya itu” (X, FGD, Surabaya)
“Di
Puskesmas pakai BPJS, tapi karena jarak, pindah. Dan karena BPJS daerah, jadi
harus ngikutin faskesnya. Prosedurnya agak ribet,
jadi aku milih ke dokter umum dan bayar” (X, FGD, Lampung)
“…..kalau
pakai jaminan kesehatan, KJS, BPJS, ataupun Jamkesda, itu harus ada
rujukannya..berjenjang ya, mereka pasti terima. Males ya…itu dia masalahnya
karena dia kan layanan terakhir ya, tapi kalau kita mau berbayar pribadi
juga boleh. Tapi lagi lagi kalo mau berbayar itu pusatnya ke POKDI dulu, ke
Pokdi nanti dia bikin rujuk internal ke poli kandungan” (X FGD, Jakarta).
Friendly
well-trained health workers towards WLWH
Sejumlah
responden juga mengakui, tidak semua layanan kesehatan
memperlakukan mereka dengan buruk. Ada yang memang telah melayani mereka
dengan semestinya, tanpa stigma dan diskriminasi. Ini membuat responden merasa
nyaman saat mengakses layanan. Kedekatan secara personal dengan petugas layanan
juga menjadi salah satu faktor yang membuat responden nyaman mengakses layanan
tersebut.
Pp 16
“Kalau gue
lihat sih personal yah, lu deket gak sama si orangnya itu. Misalnay gue datang
ke layanan, layanan itu kenal kita ya pasti baik.
Karena tahu pada saat pelayanan tidak baik, gue akan ngoceh, gue akan ngomong
dan kan ada kasus, ada isu baru yang diangkat kan, tapi bagaimana temen-temen
yang baru dan k deket gitu kan….(FGD, Jakarta)
“Saya
sendiri dari Lampung Selatan lebih nyaman berobat ke Bandar Lampung, daripada
disana. Di Kalianda, di rumah sakit, puskesmas, ataupun tempat praktek dokter,
meskipun itu dekat. Saya lebih milih yang jauh asalkan saya nyaman. Karena
menurut saya, kita berobat nyaman itu bisa membantu
proses penyembuhan kita. Kadang kalau di layanan sudah ngak enak, kita
jadi merasa ngak nyaman. Itu di Lampung Selatan memang ada yang seprti itu,
saya lebih memilih ke Badar Lampung “( X, FGD, Lampung)
pp 17.
Strengthen coordination between program managers
Lack of coordination between programs ‘Kesga’ (family health) and HIV
for PMTCT programs
ADOPTION
Untuk memastikan keberhasilan program, setiap bidang atau seksi yang
saling berkaitan di lingkungan dinas kesehatan melakukan koordinasi. Seperti di
Dinkes Provinsi Jawa Timur, koordinasi antara seksi kesehatan Keluarga dan Gizi
Masyarakat secara rutin melakukan koordinasi dengan skesi Pencegahan dan
Pengendalian Penyakti Menular:
“Kita juga pasti koordinasi, seperti bidang atau seksi yang saling
berkaitan di lingkungan dinas kesehatna melakukan koordinasi. Seperti di Dinkes
Provinsi Jawa Timur, koordinasi antara Seksi Kesehatan Keluarga dan Gizi
Masyarakat secara rutin melakukan koordinasi dengan Seksi Pencegahan dan
Pengendalian Penyakit Menular.
“Kita juga pasti koordinasi, ngak mungkin jalan sendiri-sendiri. Sekarang
lebih diperkuat untuk koordinasi. Kalau dulu, ibu hamil lewat ANCnya, ya
sudah. Sisanya kan ngak ada tuh tes HIV. baru 5 tahun terakhir ini, ini yang
punya program HIV, yang sudah masukkan program HIV. itu kalau dulu, kalau
sekarang, kan yang punya ibu hamil kan, bukan program HIV yang punya, tapi
Kesga” (Wawancara, Dinkes Surabaya)
Namun sayangnya, koordinasi antarlembaga di lingkungan pemerintah
sendiri masih menjadi kendala di daerah lain. Seperti diakui narasumber dari
dinkes Provinsi Lampung:
“Kalau Program HKSR kan sebenarnya memang ada di Kesga. Kalau di saya,
pengelola HIV, itu apabila mereka sudah ODHA, HIV positif. Mulai dari
preventif, promotive, sampai ke bagian HIV-nya. Namun memang untuk tahun tahun
belakangan ini kami memang agak kurang saling tahu
kegiatan (masing-masing). Seperti misalnya, Kesga
rupanya dari nasional itu sudah melakukan pelatihan untuk PPIA di puskesmas.
Saya secara pribadi (selaku ) pengelola program HIV tidak pernah tahu itu.
Manakala ada kunjungan dari PPIA pusat, saya juga bingung kalau ditanya. Saya
ditanya berapa banyak layanan yang dilatih tenaganya apa, kompetensinya apa,
yang harus mereka lakukan apa, tiu pun tidak bisa dijawab oleh pelaksanya. Kan
aneh gitu kan. Jadi pengethuan untuk PPIA yang dilakukan oleh KESGA terus
terang aj kurang harmonis, saat ini. Ini baru mulai rekonsialiasi lagi, wakut
kita pertemuan waktu itu…(Wawancara, Dinkes, Lampung)
Quick mutation for trained health workers
Lack of knowledge transfer in health setting
Pp 19
Keterlibatan pemerintah maupun penyedia layanan kesehatan dalam
pelatihan HKSR perlu menjadi perhatian IPPI. Sejumlah responden dalam FGD
menilai saat ini keterlibatan mereka belum banyak terasa, jika tidak bisa
dikatakan tidak ada sama sekali. Pelibatan mereka dalam sebuah pelatihan terkait
HKSR juga perlu memperhitungkan kemungkinan mutase atau perpindahan posisi dan
jabatan mereka di lembaganya.
“gue ngak tau ya, tapi kalau buat gue sendiri, setiap rumah sakit itu, orang-orang yang dilatih untuk PPIA, gitu
mutasinya cepet banget” (X, FGD, Jakarta)
:ya, jadi kayak ganti-ganti penyampaianya yang datang, ntar yang A
nyampai, yang Bnya ngak nyampai. Ntar yang B nya nyampai, yang Anya ngak
nyampai. Jadi ganti-ganti gitu, jadi ngak nyampai. Koordinasi
dalam puskesmasnya sendiri ngak berjalan….”( FGD Jakarta)
“Rasanya masih banyak yang belum paham, karena masih sering terjadi
stigma dan diskriminasi pemahamanya belum merata. Contohnya rumah sakit, itu
kan rumah sakit pendidikan. Setiap 3 bulan dokternya
ganti. Kalau dokter yang satu sudah pelatihan, dia ngak sempet transfer
knowledge, sampai perkaa HIV aj masih rancu. Apalabi dobel dobel dengan HKSR
(FGD Surabaya)
Apabila transfer informasi dan pengetahuan tidak
dilakuakn dengan baik oleh mereka secara internal, dikhawatirkan
efektivitas pelatihan tidak akan tercapai.
Bersambung….
IPPI, 2017
|
Jakarta, Lampung, Surabaya
|
-
|
Mix Methods
Survei monkey of 89 respondents
Indept-interview of 30 WLWH (10 in each province) and 30
stakeholderes and health services
|
Strengthening Women’s agency to decide their reproductive
and sexual health, use condom
|
Not all fully friendly health workers in health settings
Friendly well-trained HIV specialist
Fears towards PLWH in health setting
Lack of knowledge of right of WLWH to have free HIV
children
|
Quick mutation of well-trained health workers for HIV
Complex administraive or referral procedures to access
health setting
Lack of coordination of KESGA and HIV program manager for
PMTCT or ‘JALAN SENDIRI-SENDIRI’
Lack of knowledge transfer
|
Integrateing HKSR module to health systems
Enhacing WLWH’agency for their rights
Implementing HKSR with gender equality
HKSR- Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi |
PENUTUP
Kesimpulan
Penerapan modul Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR) oleh IPPI
telah memberikan sejumlah dampak positif pada anggotanya. Pelatihan yang
diberikan telah meningkatkan pengetahuan anggotanya akan berbagai informasi
mendasar mulai dari pencegahan HIV dan AIDS, IMS, maupun pencegahan penularan
dari ibu ke anak (PPIA) yang komprehensif. Dalam konteks gender; sebagian
anggota IPPI juga kini memiliki kesadaran yang sangat baik terkait posisi tawarnya
di hadapan pasangan, termasuk dalam menghadapi kasus Kekerasan Dalam Rumah
Tangga (KDRT). Kesadaran lain yang muncul adalah kepercayaan diri terkait
status HIV-nya dan keberanian untuk menentukan kehamilan sebagai bagian dari
haknya sebagai perempuan.
Peningkatan pengetahuan dan kesadaran ini pada tingkat tertentu mampu
mendorong terjadinya perubahan perilaku, seperti dalam penggunaan kondom saat
berhubungan seks serta akses ke layanan kesehatan. Meskipun masih banyak yang
belum melakukan pemeriksaan diri secara rutin dalam satu tahun terakhir, namun
secara umum akses perempuan dengan HIV ke layanan kesehatan meningkat. Sejumlah
faktor menjadi penyebab keengganan perempuan mengakses layanan di antaranya
amsih adanya sikap petugas rumah sakit atau puskesmas yang masih belum membuat
nyaman pasien. Selain itu, kesiapan layanan dalam menyediakan sarana dan sumber
daya manusia terkait pemenuhan HKSR bagi perempuan dengan HIV juga belum merata
di berbagai daerah.
Penerapan modul HKSR IPPI cukup strategis untuk merespon perkembangan
kasus HIV dan AIDS di mana situasi kerentanan pada perempuan yang terus
berlangsung di Indonesia. Infeksi HIV di Indonesia banyak membahayakan kelompok
perempuan yang menjadi pasangan seksual aktif dari women atau perempuan dengan
resiko rendah tertular HIV sehingga cenderung mengurangi kewaspadaan akan
pentingnya intervensi program yang kusus ditujukan kepada kelompok ini.
IPPI sebagai wadah bergabungnya perempuan dengan HIV sangat berkepentingan
untuk mengembangan modul HKSR agar dapat menjangkau sebanyak mungkin
anggotanya. Lebih luas lagi, IPPI perlu mempertimbangkan penerapan modul ini
tidak hanya bagi anggotanya, melainkan untuk perempuan dengan HIV di Indoensia
pada umumnya. Inklusivitas isu HKSR dapat dilakukan melalui pengintegrasian
modul ini ke dalam program atau sistem terkait yang dijalankan pemerintah.
Harus diakui, meski belum merata disemua derah, pemerinta telah mulai tergerak
untuk memenuhi kebutuhan HKSR bagi perempuan dengan HIV, khususnya terkait
layanan kesheatan dan gender. Melalui integritas modul ini, diharapkan secara
bertahap layanan kesehatna akan lebih berkualitas dan sesuai dengan kebutuhan
perempuan dengan HIV.
Oleh karena itu, secara internal, IPPI perlu memperkuat kapasitas
anggotanya di daerah agar memiliki keterampilan dalam melakukan advokasi
terkait kebijakan di tingkat local. Advokasi perlu dilakukan utnuk mendapatkan
dukungan dari stakeholder local terkait pengembangan modul ini. Pemerintah dan
pemangku kepentingan lainnya seperti rumah sakit dan puskesmas perlu didorong
untuk meningkatkan komitmennya dengan memenuhi hak-hak kesehatan dan reporduksi
perempuan, khususnya perempuan dengan HIV di Indonesia. Bagaimana pun, studi
ini menunjukkan betapa stakeholder di daerah umumnya masih belum mendapat
informasi yang memadai mengenai modul HKSR yang dikembangkan IPPI.
Untuk memperkuat upaya advokasi diperlukan berbagai data dan informasi
yang berbasiskan kajuan atau studi yang komprehensif. Telepas dari beberapa
kekurangan yang ada dalam pengumpulan datanya, sejumlah temuan dalam studi
tentang evaluasi dampak penerapan modul HKSR ini dapat menjadi salah satu data
yang diperlukan. Keberadaan berbagai kajian terkait HKSR akan bermanfaat dalam
menyusun strategi advokasi demi keberlangsungan program.
Comments
Post a Comment